Langkah ini merupakan bagian dari strategi inovasi perusahaan untuk memperluas portofolio merek dagang Coca-Cola dan memberikan lebih banyak pilihan kepada konsumen.
Isu penggunaan sirup jagung sebagai pemanis sudah lama menjadi sorotan penggiat kesehatan, termasuk Menteri Kesehatan AS, Robert F. Kennedy yang mengaitkan konsumsi berlebih pemanis buatan dan sirup jagung dengan meningkatnya kasus diabetes dan penyakit metabolik lainnya.
Sebelumnya, pengumuman ini lebih dulu dikabarkan oleh Donald Trump dan memantik pro-kontra di media sosial.
Meskipun banyak yang menyambut positif kabar ini, sejumlah ahli gizi menyampaikan kekhawatiran. Dokter Marion Nestle, ahli nutrisi dari Universitas New York menilai perubahan ini secara nutrisi tidak signifikan.
Menurutnya, baik gula tebu maupun sirup jagung fruktosa tinggi sama-sama mengandung glukosa dan fruktosa, serta dapat berdampak buruk pada metabolisme jika dikonsumsi berlebihan.
“Satu kaleng Coke ukuran 12 ons tetap mengandung 39 gram gula. Itu jumlah yang berlebihan,” ujarnya dikutip dari Daily Mail.
Dokter Nestle juga menambahkan bahwa reputasi buruk sirup jagung lebih karena murah dan sering digunakan dalam makanan ultra-proses.
Beberapa pakar bahkan memperingatkan bahwa perubahan ini dapat memperburuk krisis obesitas di AS karena masyarakat mungkin menganggap produk ini lebih sehat dan mengonsumsinya lebih sering.
Dalam laporan pendapatan kuartal kedua yang dirilis Selasa (22/7) pagi, Coca-Cola menyebut permintaan terhadap minuman rendah atau tanpa gula masih tinggi. Pendapatan perusahaan naik 2,5 persen menjadi USD 12,62 miliar (sekitar Rp 205,7 triliun), melampaui ekspektasi analis.