Di sisi lain, kompetisi kawasan semakin ketat. Pemerintah dan semua stakeholder harus memperhatikan peningkatan daya saing.
Tenaga kerja maupun calon tenaga kerja harus meningkatkan pemahaman literasi digital, pelatihan vokasi (vocational upscaling), dan pembenahan ekosistem pendidikan agar selaras dengan kebutuhan industri.
Shinta juga mengingatkan beberapa faktor pendorong PHK dalam negeri, seperti aktivitas manufaktur Indonesia terus mengalami tekanan, pelemahan yang terlihat pada kinerja ekspor yang turun 7,53 persen pada kuartal pertama 2025, serta tantangan struktural yang makin terasa.
Perlu menjadi perhatian soal kelas menengah yang selama ini menjadi motor konsumsi nasional juga menyusut. Shinta memaparkan terjadi penurunan hingga 9,5 juta orang dalam lima tahun terakhir, mengindikasikan tekanan terhadap segmen ekonomi yang selama ini menopang pertumbuhan.
Di sisi produksi, pelaku industri dibebani kenaikan harga energi, bahan baku, serta fluktuasi nilai tukar impor.
Biaya tenaga kerja pun meningkat, tetapi belum dibarengi peningkatan produktivitas yang memadai.
“Sementara itu, struktur industri manufaktur masih mengalami masalah mendasar di sisi efisiensi logistik dan rantai pasok,” tutup Shinta.
Sebelumnya, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyoroti banyaknya tenaga kerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Januari-Juni 2025. Salah satunya PT Sritex yang banyak memangkas pekerja pada awal tahun.
Berdasarkan Satu Data Kemnaker, sepanjang Januari-Juni 2025 terdapat sebanyak 42.385 tenaga kerja terdampak PHK.