Sekembalinya ke Tanah Air, Kwik tak langsung masuk politik. Ia mengasah nalarnya dalam dunia keuangan dan bisnis, sebelum akhirnya merasa perlu ikut merumuskan arah kebijakan publik secara langsung. Ketika reformasi bergulir dan ruang demokrasi terbuka, Kwik menjelma menjadi pengingat bahwa ekonomi tak bisa hanya dihitung lewat angka, tapi juga rasa keadilan.
Sebagai kader PDI Perjuangan, Kwik kerap berbeda pendapat dari garis partai jika itu dirasa menyimpang dari kepentingan rakyat. Ia teguh memperjuangkan ekonomi kerakyatan dan menolak liberalisasi yang menurutnya bisa menggerus kedaulatan bangsa. Banyak pihak menilai, keberanian itulah yang membuatnya lebih dikenal sebagai pemikir independen ketimbang politisi partai.
Kwik tak hanya menyumbangkan gagasan lewat jabatan menteri. Ia juga seorang pendidik yang ikut mendirikan Institut Manajemen Prasetiya Mulya pada 1982, bersama Prof. Panglaykim. Ia kemudian menggagas berdirinya Institut Bisnis dan Informatika Indonesia sebagai bentuk dedikasinya dalam mencetak generasi intelektual yang berpijak pada nilai-nilai kejujuran dan nalar kritis.
Dalam bidang literasi, Kwik produktif menulis dan menganalisis. Rubrik khasnya, “Analisis Kwik Kian Gie”, menjadi referensi banyak orang untuk memahami ekonomi dalam bahasa yang bisa dijangkau semua kalangan. Salah satu buku terkenalnya, Saya Bermimpi Menjadi Konglomerat (1993), mengungkap sisi satir dan renungan tentang mimpi masyarakat terhadap dunia usaha dan ketimpangan yang menyertainya.
Kini, Indonesia kehilangan sosok yang kerap menjadi suara nurani di tengah riuhnya politik dan angka-angka statistik. Kwik Kian Gie telah pergi, tapi gagasan dan keberaniannya akan terus hidup dalam diskusi ekonomi, politik, dan masa depan bangsa. (muhsin/fajar)