“Perlu dipahami, putusan pengadilan itu tidak seperti putusan politik yang cuma instruksi. Putusan pengadilan itu pada dasarnya memuat amar putusan,” terang pengajar Jentera Law School itu.
Menurut Bivitri, amar putusan langsung menjawab apa yang diminta oleh pemohon atau penggugat. Atau penuntut umum kalau pidana. Yaitu dikabulkan atau ditolak atau tidak bisa diterima. Misalnya pemohon tidak punya legal standing.
“Nah, hakim itu tidak boleh bawel di situ. Alasan hakim menolak atau menerima atau hanya dapat diterima, wajib juga dimuat dalam putusan,” ujarnya.
Dalam amar putusan itu juga ada yang namanya pertimbangan hukum. Fungsinya bukan hanya tanggung jawab etik hakim untuk menjelaskan penalaran hukum atau rasio desidensi dari putusannya," kata Bivitri.
Pertimbangan hukum juga memuat apa yang ada di dalam pikiran para hakim dalam menyelesaikan masalah sosial secara lebih kompherensif.
Bivitri juga menjelaskan, hakim merupakan pembuat hukum melalui putusan. Kaidah hukum istilahnya.
Ia mencontohkan, yurisprudensi MA memuat kaedah hukum baru yang ditemukan oleh hakim. Dalam ilmu hukum, itu dinamakan penemuan hukum. "Itu yang kurang dipahami," jelasnya.
Menurutnya, kaidah hukum dari hakim justru bisa ditemukan dari ratio decidendi, bukan di amar putusan.
Sebagai kaidah hukum, ia justru wajib diikuti sebagai perintah pengadilan atau judicial order. "Nah, amar putusan 80/PUU-XVII/2019 ini memang bilang tidak dapat diterima, karena pemohonnya tidak punya legal standing,” paparnya.
Di luar boleh atau tidaknya dari segi hukum. Bivitri mengatakan, pertanyaan tersebut bisa dijawab dari aspek kepatutan.