Pada Demokrasi Parlementer / Liberal (1950–1959), Mlmenggunakan UUD Sementara 1950, Indonesia menerapkan sistem parlementer dan multi-partai, di mana kekuasaan eksekutif dipegang oleh perdana menteri, sedangkan presiden hanya sebagai kepala negara.
Pemilu pertama digelar pada 1955, yang menghasilkan berbagai partai besar seperti PNI, Masyumi, PKI, dan NU.
Namun, proses politik sangat tidak stabil: dalam kurang dari satu dekade terjadi tujuh kali pergantian kabinet, disebabkan oleh konflik antar partai dan kelemahan ekonomi.
Selanjutnya, Demokrasi Terpimpin (1959–1966). Karena Konstituante gagal membentuk konstitusi baru, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, membubarkan Konstituante, kembali mengaktikan UUD 1945, serta membentuk MPRS dan DPR-GR.
Kekuasaan terkonsentrasi penuh di tangan presiden. Sistem politik dibuat kaku dengan ideologi Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), pembungkaman oposisi, pengaruh militer yang signifikan, serta perlakuan represif terhadap partai politik (partai dipaksa bergabung bawah satu bendera singkat).
Selanjutnya, Demokrasi Pancasila / Era Orde Baru (1966–1998). Setelah peristiwa G30S/PKI pada 1965, Soeharto naik dan memulai rezim Orde Baru, berdasar Demokrasi Pancasila, dengan Pancasila sebagai ideologi tunggal dan kontrol kuat atas media serta partai-partai.
Meskipun membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, era ini terkenal akan repressi terhadap kebebasan politik dan praktik korupsi serta nepotisme yang meluas.
Lalu, Demokrasi Reformasi (1998–sekarang). Kisis keuangan Asia dan tekanan publik memaksa Soeharto mundur pada 21 Mei 1998, menandai berakhirnya Orde Baru dan lahirnya era Reformasi. B. J. Habibie sampai Jokowi memimpin demokrasi yang lebih terbuka dan berbasis Pancasila secara lebih fungsional.