Bangun pun semakin bertanya-tanya, kenapa tidak diserahkan saat momentum Dies Natalis UGM 2017 yang saat itu hanya menyisakan waktu 3 bulan.
"Dan kenapa justru pihak PP Kagama yang menyerahkan? Yang butuh kartu itu siapa? Bagi kami para alumni asli ini, kartu itu memang jadi penanda dan bukti sebagai alumni UGM. Toh tidak banyak atau sering digunakan untuk identitas diri," sebutnya.
Kata Bangun, yang paling penting dan jadi syarat umum untuk mengubah nasib adalah ijazah. Dengan ijazah, setiap orang punya kesempatan memasuki ekskalator nasib bagi masa depannya.
"Misalnya untuk melanjutkan pendidikan lagi atau melamar ke dunia kerja formal. Itu pentingnya ijazah. 12 September 2017 telah menjadi bagian sejarah yang tidak bisa diubah. Bicara kaitan tanggal, bulan, dan tahun, jadi teringat dengan teori 'gothak gathik gathuk'-nya Prof. Damardjati Supadjar rahimahullah, dosen mata kuliah Filsafat Pancasila dan salah satu narasum kajian Islam secara rutin di radio swasta Jogja idola penulis saat itu," imbuhnya.
Ia menuturkan bahwa teori sederhana yang pernah disampaikan ketika menganalisa suatu peristiwa atau kejadian di alam semesta ini disebut garputala.
"Yang pasti, kata Prof. Damardjati Supadjar, semua peristiwa di dunia ini sudah diberitakan dan digambarkan dalam Al Qur'an. Kita tinggal membacanya saja. Kalau pesan guru ngaji di Magelang, Al Qur'an bilang apa? Di dunia ini memang tidak ada yang namanya kebetulan," ucapnya.
"Semua atas izin Tuhan, biidznillah, atau atas izin Allah. Dari situlah kita semua diminta untuk 'iqra' atau belajar. Tidak hanya sekedar membaca tulisan tapi justru yang lebih penting lagi adalah membaca pesannya. Di situlah energi Al Qur'an tersimpan," sambung dia.