Pakar HTN Paparkan Dua Alasan Wamen Tidak Boleh Rangkap Jabatan

  • Bagikan
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti. (ANTARA/Narda Margaretha Sinambela)

“Namanya pertimbangan hukum. Pertimbangan hukum itu teman-teman, fungsinya bukan hanya tanggung jawab etik hakim untuk menjelaskan penalaran hukum atau rasio desidensi dari putusannya. Tapi juga memuat apa yang ada di dalam pikiran mereka dalam menyelesaikan masalah sosial secara lebih kompherensif,” sambungnya.

Selain itu, ia menjelaskan Hakim merupakan pembuat hukum melalui putusan. Kaidah hukum istilahnya.

Ia mencontohkan, yurisprudensi MA memuat kaedah hukum baru, yang ditemukan oleh hakim. Dalam ilmu hukum, itu dinamakan penemuan hukum. Itu, kata dia yang kurang dipahami.

“Kaidah hukum dari hakim justru bisa ditemukan dari ratio decidendi, bukan di amar putusan. Sebagai kaidah hukum, ia justru wajib diikuti sebagai perintah pengadilan atau judicial order. Nah, amar putusan 80/PUU-XVII/2019 ini memang bilang tidak dapat diterima. Karena pemohonnya tidak punya legal standing,” paparnya.

Di luar boleh atau tidaknya dari segi hukum. Bivitri mengatakan, pertanyaan tersebut bisa dijawab dari aspek kepatutan.

Ia pun memaparkan buruknya rangkap jabatan. Pertama, kompetensi.

“Ukurannya harus dari rekam jejak. Bukan jabatan lain. Dua, dan ini yang penting sekali, potensi benturan kepentingan. Tiga, gaji double, ini bukan kecemburuan sosial ya. Tapi penggunaan uang negara,” jelasnya.

Jika memang kasihan dengan menteri dan wamen karena gajinya kekecilan, menurutnya yang perlu diselesaikan adalah akar masalahnya. Soal sistem anggaran.

“Jangan kebanyakan di protokoler seperti mobil dan pengawalan tetot tetot. Dan, kalau mau bereskan ini, bereskan dilu dulu kompetensinya,” pungkasnya.
(Arya/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan