“Penghentian penyelidikan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” bunyi kutipan dari isi surat SP3D, dikutip pada Senin (4/8/2025).
Adapun dokumen-dokumen yang sebelumnya diserahkan TPUA ke penyidik, dinilai tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti hukum dalam kasus tersebut.
Hal ini menjadi dasar utama Bareskrim untuk menghentikan penanganan perkara.
Namun, pihak TPUA tidak tinggal diam. Mereka melayangkan surat keberatan atas keputusan tersebut, menyatakan bahwa dasar hukum penghentian penyelidikan tidak sejalan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun Peraturan Kapolri (Perkapolri).
“Bahwa penghentian penyelidikan 22 Mei 2025 yang dibenarkan dalam SP3D 25 Juli 2025 berdasar alasan ‘sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku’ tidaklah benar, karena tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP maupun Perkapolri,” demikian isi surat keberatan TPUA yang dirilis Selasa (29/7/2025), dan ditandatangani Rizal Fadillah.
Rizal juga menyoroti bahwa Presiden Joko Widodo maupun dokumen ijazah aslinya tidak dihadirkan dalam gelar perkara khusus yang dilangsungkan pada 9 Juli 2025.
Ia pun menegaskan pentingnya membedakan antara alat bukti dan barang bukti dalam proses hukum.
“Pasal 184 KUHAP menyatakan bahwa alat bukti adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa,” kata Rizal dalam pernyataannya.
Atas dasar itu, TPUA mendesak agar proses hukum tidak dihentikan begitu saja, dan menilai Bareskrim seharusnya membawa perkara ini ke tahap pembuktian lebih lanjut. (Muhsin/fajar)