Pilpres di Antara Cinta dan Nestapa

Para pelaku dalam pesta itulah sejatinya yang mengubah keadaan pilpres dari guluman senyum menjadi gulungan jeram. Mengubah genre alur film, dari romantis menjadi horor dan bahkan laga. Semuanya akan sangat bergantung kepada pelaku-pelaku dalam perhelatan pilpres, dan bukan masyarakatnya.
Agar menjadi pesta rakyat yang sebenarnya, maka mulai dari pasangan calon presiden, tim pemenangan, relawan, pendukung dan simpatisan penuh dengan senyuman meraih dukungan rakyat maka pesta tak harus berakhir menjadi pasta.
Emak-emak tak harus dipermak oleh aparat penegak hukum yang berujung jeruji besi karena menyebarkan hoaks dan tak perlu merasakan dinginnya lantai tahanan dibandingkan dengan nyenyaknya tidur memakai springbed bermerek King Koil.
Bercinta dengan Pilpres
Kesadaran konstitusional masyarakat harus dibangun oleh penyelenggara negara dimulai dari penyelenggara itu sendiri bahwa pilpres adalah ritual lima tahunan yang harus dilaksanakan dan digunakan sebagai mekanisme baku dalam sirkulasi kepemimpinan nasional melalui pemilu.
Di masa Orde Baru, kita memiliki pengalaman panjang 32 tahun dengan masa enam kali pemilu pura-pura. Jangan lagi terulang pura-pura pemilu diera reformasi dengan keterbukaan yang demikian telanjang.
Dengan kesadaran politik rakyat melalui pengalaman traumatis dimasa lalu memunculkan partisipasi kolektif dan massif membangun kesejatian demokrasi dengan cara melibatkan diri kedalam pergumulan politik pilpres menjadi relawan atau partisan realis.
Ini menandakan kecintaan rakyat terhadap pilpres agar pesta tetap menggembirakan walau berbeda pilihan. Mungkin mereka tidak paham politik tapi mereka juga tidak menginginkan senyuman pagi tetangganya berubah menjadi suram hanya karena pilpres.