Pilpres di Antara Cinta dan Nestapa

Di sini tingkatan cinta melebihi sekadar pilpres karena urusan kemanusiaan dan pemaknaan teologis dan memandang pilpres sekedar kekuasaan dan berjangka waktu pendek. Sementara tetangga akan selalu berdampingan berpuluh-puluh tahun hingga turun-temurun.
Tetapi mencintai pilpres itu sendiri menandakan kesadaran bernegara dan momentum memberikan kedaulatan tertinggi sebagai rakyat untuk memilih calon pemimpin nasional, apakah akan membahagiakan atau sebagai ancaman kebahagiaan itu sendiri.
Sayangnya, bercinta dengan pilpres masih diwarnai cinta buta, tanpa nalar dan kejernihan nurani. Pilihan terhadap calon presiden karena cinta tapi buta akan memandang orang lain seolah benci dengan pilihannya, padahal orang lain sedang memberi senyum kepadanya karena menghargai pilihannya dan bukan karena benci.
Akan lebih runyam lagi keadaannya, jika cinta buta terhadap capres bertemu dengan cinta buta pilihan capres lainnya. Tak saling memandang tapi kadung cinta berlebihan sehingga melakukan apa pun agar yang dicintainya terpilih dengan cara menyakiti. Jenis pemilih seperti ini belum sampai pada kesadaran teologis, bahwa cinta tak harus memiliki. Bahwa capres dukungan tak harus terpilih.
Politik haruslah dibangun di atas landasan etik dan moral yang kuat agar bisa dibedakan mana tujuan luhur politik yang hakiki, dan mana politik yang menghalalkan segala cara mencapai tujuan. Tanpa itu, persepsi politik itu jahat akan menjadi dominan dalam pikiran dan mempengaruhi tindakan dalam politik.
Akibatnya, berpolitik dalam momentum pilpres bukan menghadirkan cara yang elegan dan bermartabat melainkan nestapa bagi yang dikorbankan. (*)