60 Tahun Prof Dr Nasaruddin Umar

  • Bagikan
Tradisi menulis itu, terus saya asah dan jalani hingga hari ini. Saya sering menulis setelah shalat malam (lail), sekitar jam 03.00, di jalan (di dalam mobil atau pesawat terbang) pun saya sering menulis. Tulisan-tulisan itu telah menjadi buku seperti yang ada di tayangan video singkat tadi, lanjut Nasar. Saya masih punya banyak tulisan yang belum terbitkan. Ketika saya menjabat di Kementerian Agama pun, tidak menghalangi saya terus menulis. Ketika itu, saya bahkan setiap hari bisa dapat mengirim 3 tulisan ke 3 koran nasional, belum termasuk ceramah dan wawancara dari 1 masjid atau stasion televisi ke masjid dan televisi atau tempat acara yang lain. “Semuanya saya jalani itu atas dasar nasehat ibu kandung dan 2 guru saya: Prof. Quraish Shihab dan Prof. KH. Ali Yafie, agar saya selalu dekat dengan masyarakat,” kata Nasar. Beberapa tahun terakhir ini, saya lebih banyak menekuni dan mengajarkan ilmu tasawuf atau spiritual Islam. “Saya ingin mempertemukan yang berbeda, menghimpun yang berserakan, dan menyatukan kebersamaan,” pungkas Nasaruddin, Imam Besar Masjid Istiqlal. Sambutan JK Kita bersyukur dapat menghadiri syukuran 60 tahun dan melihat karya-karya Prof. Nasaruddin Umar. “Saya ini, bersama Prof. Quraish Shihab dan Nasaruddin berasal dari Makassar, hadirin tepuk tangan. Saya bahkan sekampung Nasaruddin dari Bone. Saya di Bukaka dan Nasar di Ujung. Kampung Nasar ini, terkenal banyak pedagang atau saudagar, mirip kampung Arab, pakkampilo,” kata JK, disambut tawa hadirin. Saya kadang bertanya, ini Nasar, kapan istirahatnya? Saya beberapa kali bertemu di berbagai bentuk acara, Nasar hadir membaca doa dan memberikan tausiyah, dll,” kata JK.
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan