Amnesti Baiq Nuril Diharap Jadi Momentum Revisi UU ITE

  • Bagikan
FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Pemberian Amnesti Baiq Nuril oleh Presiden Joko Widodo mendapat apresiasi dari banyak pihak. Di antaranya adalah, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). “Kami MaPPI FH UI dan ICJR mengapreasiasi langkah yang diambil oleh Presiden Joko Widodo. Pemberian amnesti ini menegaskan bahwa perlindungan bagi korban kekerasan seksual merupakan hal penting dalam penyelenggaraan negara,” kata Peneliti ICJR, Maidina Rahmawati dalam keterangan tertulisnya, Selasa (30/7). Namun, Maidina berharap proses panjang sampai dengan pemberian amnesti ini tidak harus terjadi jika ada perbaikan yang dilakukan. Bisa dimulai dari revisi UU ITE, hingga evaluasi berkala aparat penegak hukum untuk menjamin terlindungannya korban kekerasan seksual dalam sistem peradilan pidana. “Amnesti ini harusnya bisa menjadi momentum untuk dilakukan perbaikan atau revisi pada UU ITE,” ujarnya. Diketahui, keputusan untuk memberikan Amnesti terhadap Baiq Nuril merupakan tindak lanjut atas proses hukum yang dialami oleh mantan guru honorer SMAN 7 Mataram itu. Karena Mahkamah Agung (MA) telah menolak permohonan gugatan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Baiq Nuril. Putusan tersebut memperkuat putusan pengadilan sebelumnya, yakni putusan Mahkamah Agung yang menghukum Baiq Nuril dengan pidana 6 bulan penjara dan denda 500 juta subsidier 3 bulan kurungan. “Kasus ini sebetulnya adalah tamparan keras kepada Pemerintah, bahwa sistem peradilan pidana telah gagal melindungi warga negara,” tegas Maidina. Karena itu, melalui perjalanan panjang kasus Baiq Nuril, sebenarnya banyak hal yang harus dijadikan cambuk bagi pemerintah dan DPR untuk melakukan reformasi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Seperti penerapan UU ITE. Menurutnya, pada Pasal 27 ayat (1) bukan satu-satunya masalah dalam UU ITE, Pasal 27 ayat (3) UU ITE memuat ketentuan pidana tentang penghinaan dalam sistem elektronik, yang dalam penjelasan dimuat bahwa pasal ini merujuk pada ketentuan KUHP, namun UU ITE gagal menjelaskan rujukkan pasal KUHP mana yang dimaksud, karena mengenai penghinaan. Sebab, pada praktiknya UU ITE justru menyasar kelompok dan individu yang mengkritik institusi dengan ekspresi yang sah. Bahkan, kata Maidina, lebih memprihatinkan lagi pasal ini kerap digunakan untuk membungkam pengkritik Presiden, padahal Mahkamah Konstitusi sudah menghapus pidana penghinaan terhadap Presiden.
Panen Cibiran, Ria Ricis Batal Berhenti Sebagai YouTuber JK Sampaikan Belasungkawa ke Keluarga IYL Dubes Jepang Jatuh Cinta dengan Sulsel
“Selain itu, pembaruan KUHAP mutlak diperlukan. Kasus Baiq Nuril menunjukkan masalah hukum acara pidana, bahwa Baiq Nuril sempat ditahan dalam proses penyidikan,” paparnya. Dijelaskanya, penahanan tunduk pada ketentuan Pasal 21 KUHAP dengan syarat yang wajib dielaborasi oleh setiap pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan, termasuk alasan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. “Artinya penahanan terhadap tersangka atau terdakwa bukanlah hal yang wajib dilakukan,” papar Maidina. Untuk diketahui, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) mengenai pemberian amnesti bagi Baiq Nuril Maknun. Maka dengan terbitnya amnesti ini, maka Nuril yang sebelumnya divonis Mahkamah Agung (MA) melanggar UU ITE pada tingkat kasasi, bebas dari jerat hukum. (jp)
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan