Revisi UU KPK Dikebut, DPR Target hanya Tiga Minggu

  • Bagikan
FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Rapat paripurna DPR kemarin (5/9) berlangsung singkat: kurang dari 30 menit. Namun, keputusan yang diambil terbilang penting. DPR mengesahkan rencana revisi UU KPK atau mengubah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasar draf usulan dari Badan Legislasi (Baleg) DPR, ada empat poin penting dalam revisi UU KPK. Yakni, pembentukan dewan pengawas, penyadapan yang harus seizin dewan pengawas, pemberian kewenangan untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan, serta status lembaga dan pegawai KPK. Pengesahan revisi UU KPK sebagai RUU inisiatif DPR berjalan cepat. Dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Utut Adianto itu, tidak ada penyampaian pandangan fraksi seperti biasa dilakukan secara lisan di atas podium. Penyampaian pandangan fraksi dilakukan secara tertulis. Setiap fraksi menyampaikan dokumen pandangan kepada pimpinan DPR. Setelah itu, sidang RUU inisiatif DPR disahkan dengan tanda ketukan palu. Rapat pun bubar. Utut Adianto dan Ketua DPR Bambang Soesatyo yang hadir dalam rapat keluar lewat pintu belakang untuk menghindari media. Taufiqulhadi, anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem, menyatakan, setelah pengesahan dalam rapat paripurna, pembahasan RUU KPK akan diserahkan ke baleg. Namun, sebelum dilakukan pembahasan, dewan menunggu surat presiden (surpes) yang menunjuk kementerian atau lembaga yang akan membahas RUU tersebut bersama DPR. “Kami harap secepatnya surpres dikirim ke DPR,” kata dia setelah rapat paripurna kemarin. Dia menegaskan, pembahasan RUU KPK akan dikebut dan ditargetkan selesai sebelum pelantikan anggota DPR periode 2019-2024 pada awal Oktober. Hasil revisi UU itu akan menjadi acuan bagi pimpinan KPK yang baru dalam melaksanakan pemberantasan korupsi. Sebagaimana diketahui, saat ini DPR juga akan melakukan fit and proper test untuk memilih lima komisioner KPK yang baru. Anggota Fraksi PDIP Hendrawan Supratikno optimistis pembahasan RUU KPK bisa selesai dalam tiga pekan. Sebab, semua fraksi sudah sepakat dengan perubahan itu. DPR juga sudah berkoordinasi dengan pemerintah untuk menuntaskan pembahasan dalam waktu yang sangat singkat tersebut. Sebenarnya, kata dia, revisi itu sudah disepakati DPR dengan pemerintah. “Makanya bisa masuk prolegnas,” terang anggota baleg itu. Arsul Sani dari Fraksi PPP menyatakan bahwa perubahan UU KPK merupakan kelanjutan dari rencana revisi yang pernah disuarakan pada 2017. Namun, saat itu DPR dan pemerintah sepakat menunda pembahasan. “Bukan menghilangkan atau menghapus, tetapi menunda,” jelasnya. Pihaknya menyadari bahwa revisi itu sangat sensitif dan menimbulkan reaksi dari publik. Namun, menurut Arsul, pro-kontra tersebut wajar terjadi dalam sebuah negara demokrasi. Dia menegaskan, revisi UU tidak untuk melemahkan KPK. “Percayalah, semua yang ada di DPR ini tentu tidak ingin KPK lemah,” ungkap anggota Komisi III DPR tersebut. Arsul menjelaskan poin-poin dalam revisi UU KPK. Salah satunya terkait dengan pembentukan dewan pengawas yang terdiri atas lima orang. Dewan pengawas bertugas melakukan pengawasan, memberikan izin penyadapan, menggelar sidang kode etik, dan mengevaluasi kinerja pimpinan serta pegawai KPK. “Akan dibentuk pansel untuk memilih dewan pengawas,” kata legislator dari Jawa Tengah itu. Hasil dari pansel kemudian diserahkan kepada DPR. Kemudian, mengenai poin status kelembagaan dan pegawai KPK, Arsul mengatakan bahwa KPK nanti merupakan lembaga pemerintah pusat. “Sesuai putusan MK bahwa KPK masuk lingkup eksekutif,” urai dia. Begitu juga pegawai KPK, merupakan pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah. Terkait dengan pemberian kewenangan kepada KPK untuk dapat menghentikan perkara, anggota Fraksi Partai Gerindra Desmond Junaidi Mahesa mengatakan, di negara hukum harus ada kepastian dalam penanganan perkara. Misalnya, melalui surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Menurut dia, selama ini ada beberapa kasus yang penanganannya tidak jelas. “Coba kalau itu terjadi dengan keluarga Anda. Bertahun-tahun tersangka, tapi kasusnya tidak jelas,” ucap dia. Desmond menganggap berlebihan apabila ada yang menilai pemberian kewenangan SP3 bertujuan melemahkan KPK. Sementara itu, kemarin pemerintah bungkam soal rencana pembahasan bersama dewan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan belum mendapat laporan soal revisi UU KPK. “Itu inisiatif DPR. Saya belum tahu isinya,” ujarnya kemarin. Jokowi menilai, yang dikerjakan oleh KPK selama ini sudah berjalan baik. Namun, soal rencana revisi UU, dia enggan berkomentar lebih jauh. “Saya belum tahu. Jadi, belum bisa sampaikan apa-apa,” dalihnya. Pernyataan senada disampaikan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna Laoly. Dia enggan berandai-andai mengenai sikap pemerintah atas inisiatif DPR merevisi UU KPK. Usulan Revisi UU KPK Pernah Ditolak Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar menuturkan, ide revisi UU KPK sudah mendapat banyak penolakan sejak pertama muncul. “Yang menjadi pertanyaan, atas dasar kebutuhan apa rencana perubahan UU KPK ini digulirkan,” katanya. Terlebih setelah dia melihat poin-poin yang diusulkan DPR. Fickar menyatakan bahwa isi draf revisi UU KPK lebih banyak berupa pelemahan KPK. Mulai pembentukan dewan pengawas, penyadapan yang harus izin kepada dewan pengawas, serta kewenangan SP3 yang semula tidak ada di KPK. “Kedudukan dan kewenangan dewan pengawas di atas komisioner,” imbuhnya. Semua usulan revisi tersebut, kata dia, pernah ditolak masyarakat. Karena itu, dia heran ide tersebut muncul lagi. Menurut dia, revisi UU KPK yang diusulkan DPR bisa membuat langkah KPK tidak seprogresif saat ini. “Terutama di bidang penindakan,” katanya. “Kehadiran dewan pengawas akan sangat berkuasa. Jelas akan melemahkan gerak langkah KPK,” lanjut Fickar.
Ketua KPK Agus Rahardjo: RUU Berisiko Lumpuhkan Kerja KPK Kisah Tragis Bu Guru Astia, Dieroyok Orangtua Siswa, Pelaku Terancam 7 Tahun Warga Korban Longsor di Rembon Belum Diungsikan Benny Wenda Bukan Aktor Tunggal, Ini Pernyataan Vidhyandika Paulus Suryanta Ginting Ditahan di Sel Isolasi? Ini Kata Polri
Dia juga menyebut kewenangan mengeluarkan SP3 sebagai degradasi. Itu membuat KPK serupa dengan penegak hukum lain yang dia sebut gagal memberantas korupsi. “Bahkan, penegak hukum konvensional itu menjadi tempat korupsi juga,” ungkapnya. Dengan tegas, Fickar menyatakan, upaya pelemahan KPK lewat revisi UU sejalan dengan pelemahan yang dilakukan melalui pansel capim KPK. Keduanya bisa membuat lembaga antirasuah itu tumpul. Fickar menyatakan, dirinya bersama masyarakat menolak revisi UU KPK. “Rencana perubahan UU KPK bukanlah pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat karena masyarakat telah menolak rencana perubahan itu,” paparnya. Dia sangat berharap Presiden Jokowi menolak usulan DPR. “Jangan seperti soal capim KPK yang diserahkan pansel yang tidak memedulikan aspirasi masyarakat,” sambung dosen Universitas Trisakti tersebut. (jp)
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan