Banking dengan Satu Kepemilikan Ownership.
Ratusan bahkan ribuan jumlah perbankan di seluruh dunia seperti saat ini mungkin kelak tidak lagi akan pernah ada. Di Indonesia saja jumlah bank umum yang terdaftar hingga saat ini menurut data dari OJK pada Statistik Perbankan Indonesia - Januari 2020 sebanyak 110 entitas dengan jumlah kantor sebanyak 31.125 outlet, sedangkan untuk BPR nya berjumlah 1.542 entitas dengan jumlah outlet sebanyak 5.964. Sungguh suatu jumlah yang sangat banyak. Bayangkan saja sejauh mana OJK, sebagai regulator dan lembaga pengawas perbankan, dapat mengawasinya secara ideal untuk semua aspek dan lini dengan jumlah sebanyak ini, pantas sajalah banyak terjadi permasalahan yang selalu merongrong perbankan Indonesia. Tetapi tidak lama lagi keruwetaan seperti ini pastilah sudah tinggal kenangan dan sejarah. Perubahan jumlah perbankan dan outletnya akan mengalami efisiensi dan rasionalisasi yang sayangnya tidak akan berjalan perlahan tetapi secara drastis dan dalam waktu yang tidak terlalu lama, apakah itu disebabkan oleh keadaan yang mendesak seumpama wabah seperti saat ini atau mungkin saja terjadi karena sebab-sebab kesusahan besar lain seperti bencana krisis moneter global lainnya. Kesusahan besar biasanya selalu memaksa manusia untuk bermutasi baik dalam cara berpikir maupun dalam cara bertahan hidup agar survival ke mode yang lebih efisien.
Di Indonesia sangat mungkin segera terjadi merger dan akuisisi bank sehubungan dengan kondisi keguncangan covid19 ini sebagaimana sudah disosialisasikan OJK baru-baru ini. OJK melalui POJK Nomor 18/2020 telah merilis perintah tertulis kepada seluruh pelaku jasa keuangan untuk penanganan permasalahan bank karena coid19 ini. OJK segera akan melaksanakan aturan konsolidasi paksa bagi bank-bank dalam kriteria mengamcam stabilitas keuangan (SSK). Aturan ini katanya untuk merespon Perpu Nomor 1/2020 Perihal Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan yang ditetapkan tanggal 31 Maret 2020 yang lalu. Seandainya krisis covid19 ini berlangsung melebihi bulan Juni 2020 maka bukan saja perbankan yang akan mengalami kerusakan tetapi juga semua industri. Stagnasi industri yang notabene sebagian besar dibiayai perbankan jelas akan membuat bank kelimpungan karena tidak mendapatkan imbal hasil atas investasinya dari industri. Industri yang gulung tikar akan ikut menyeret bankernya. Segera aturan di atas akan mulai tereksekusi dengan segera. Perbankan akan konsolidasi dengan melakukan rasionalisasi (lay-off) atas jumlah staffing dan outletnya tanpa ampun. Bayangkan seandainya kekacauan ini extending ke tahun depan bahkan dua tahun yang akan datang, mungkin hanya tersisa beberapa belas bank saja bahkan mungkin ekstrim ke beberapa buah saja perbankan yang dapat ditolong dan diselamatkan untuk tetap established. Gambaran di atas juga pasti terjadi di seluruh belahan dunia. Sekali lagi masa sulit biasanya melahirkan ide-ide surviving dengan mode untuk bisa cepat beradaptasi, super sangat efisien dan jauh lebih efektif. Maka perbankan konvensional dengan jumlah entitas dan outlet yang jumlahnya banyak itu tidak lama lagi pastilah adalah suatu kenangan manis atau bahkan hanya suatu memori kolot yang mengherankan bagi dunia di masa depan.
Covid-19 Mendistrubsi atau Malah Mempercepat Implementasi Banking 4.0
