FAJAR.CO.ID, JAKARTA-- Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) memandang, penerimaan pajak sudah beranjak 15 kali lipat dari Rp 116 triliun pada 2000 ke Rp 1.786 triliun pada 2019. Kenyataan tersebut kental dengan kebijakan fiskal pemerintah yang semakin pruden, proaktif, inklusif dan tepat sasaran dalam merangsang pembayar pajak termasuk individu dan dunia usaha.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kadin, Gita Wirjawan menyampaikan, memang tidak bisa dipungkiri peran swasta atau dunia usaha yang merupakan 87 persen dari kue ekonomi atau PDB Indonesia sebesar Rp 16.000 triliun (13 persen peran APBN), sangat menopang pertumbuhan. Sehingga Indonesia menjadi ekonomi terbesar nomor 17 di dunia (salah satu anggota dari grup prestisius G-20).
“Dunia usaha yang terdiri dari UMKM, BUMN, dan nonBUMN bukan hanya berperan dalam pengisian ruang fiskal lewat pembayaran pajak, namun juga dalam beberapa hal lainnya,” ujarnya dalam keterangannya, Rabu (20/5).
Peran tersebut di antaranya, pemberdayaan tenaga kerja dimana 95 persen dari seluruh 130 juta tenaga kerja berdaya di sektor UMKM. Poduksi barang dan jasa yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas di tanah air dan juga diekspor ke luar negeri. Serta, persaingan terhadap industri di negara tetangga yang mencari pangsa pasar internasional yang sama.
Ia mengapresiasi, program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang tertuang dalam Perppu 1/2020 dengan semangat memuat unsur keadilan sosial, kaidah kebijakan yang penuh dengan prinsip kehati-hatian, dan dukungan untuk pelaku usaha. Salah satu isu atau concern yang tersirat dalam tuangan PP Nomor 23 tersebut, kata dia, perhatian yang cukup besar diberikan terhadap para UMKM.
Khususnya untuk kepentingan restrukturisasi utang beberapa BUMN sebesar hampir Rp 400 triliun. Sedangkan penempatan dana yang direncanakan oleh pemerintah di bank perantara hanya sekitar Rp 34 triliun.
Itupun dilakukan bukan dalam bentuk jaminan dari pemerintah. Sehingga risiko kredit tetap akan diambil oleh para bank perantara yang kemungkinan besar akan menolak atau sulit mengambil risiko kredit tersebut.
“Penyikapan pemerintah cukup kelihatan diskriminatif terhadap dunia usaha (nonUMKM dan BUMN) yang mana mereka selama ini sudah banyak membantu dalam perputaran roda ekonomi Indonesia,” ucapnya.
Ia mengingatkan, wabah Covid-19 sangat tidak pandang bulu, warna kulit, agama, geografi, ketenaran, kekuatan fisik maupun keuangan. Sikap Covid-19 yang sangat non-diskriminatif ini justru harus ditanggulangi dengan reaksi ataupun kebijakan responsif yang semestinya non-diskriminatif dan inklusif.
“Ini bukan semata hanya untuk kepentingan survival, tapi yang lebih penting lagi adalah untuk bisa lebih bersaing di kemudian hari,” imbuhnya.
Ia menambahkan, sangat disayangkan apabila dunia usaha swasta sebagai salah satu motor ekonomi yang telah membantu pendongkrakan ruang fiskal sebesar 15 kali dalam 20 tahun terakhir dengan mudahnya dianggap mampu untuk membantu dirinya sendiri. Kesalahan parkir logika tersebut sangat riskan dan akan tercermin dalam kelumpuhan daya produksi, daya saing, dan kapasitas peningkatan ruang fiskal di kemudian hari.
Disaat negara tetangga menggelontorkan lebih dari 10 persen dari PDB utk kepentingan pemulihan ekonominya, Indonesia sebagai ekonomi terbesar (43 persen dari perekonomian ASEAN) di ASEAN baru menyiapkan 2,5 persen dari PDB nya. “Ini mungkin mencerminkan kurangnya pendalaman mengenai inti permasalahan yang terjadi sekarang ini. Yang lebih penting lagi adalah pendalaman mengenai kemana kita mau arahkan perekonomian kita di kemudian hari,” kata Gita. (jpc/fajar)