Saya kan menggagas omnibus law ini sudah sepuluh tahun lebih, tetapi maksudnya untuk menata hukum Indonesia, bukan sekadar untuk ekonomi. Menata menyeluruh, di bidang politik, pendidikan, kebudayaan, kesejahteraan. Hukum kita ini belum tertata, harus ditata.
Namun ini hanya dimanfaatkan untuk ekonomi dulu. Oke saja, tetapi plus minusnya adalah, semakin banyak pasal yang dirumuskan, ditetapkan, mengubah norma yang ada, itu dalam keadaan normal makin baik. Tetapi dalam suasana tidak normal, yang dibutuhkan itu kebijakan yang ringkas-ringkas, makin singkat.
Misalnya, dalam keadaan tidak normal kita butuh kebijakan A, kebijakan A ini kalau kita lakukan akan mengatasi problem ini, ini, dan ini. Kebijakan A itu cukup kita rumuskan dalam tiga kalimat. Maka, buat saja UU selembar. dengan tiga kalimat, tiga pasal, cukup. Tetapi dia menyelesaikan masalah.
Misalnya bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, begitu?
Itu misalnya. Jadi, dalam keadaan normal, makin tebal UU itu makin baik. Dalam keadaan luar biasa, dalam keadaan darurat, makin tipis makin baik, karena membutuhkan kecepatan. To the point. Misalnya membuat UU kebijakan baru, cukup dengan lima kalimat, kenapa mesti 500 kalimat? Kalau cukup dengan 10 kalimat, kenapa mesti 10 ribu kalimat?
Ini untuk menjawab. Jadi membuat UU itu jangan kayak membuat buku, semua teori-teori dikumpulkan di situ, segala macam asas, segala macam ketentuan pendahuluan, waduh lengkap sekali. Padahal yang anda perlukan hanya ngomong tiga kalimat. Itu lho. Jadi ini tidak efisien.