Nah, akibatnya, kalau banyak (aturan yang dihapus), akan ada periode di mana norma yang lama dicabut tidak berlaku lagi, norma yang baru belum efektif. Itu yang namanya nomos one, nomos two, itu yang selalu saya gambarkan, proses dari nomos one ke nomos two, ada keadaan namanya anomos, bahasa lain anomos itu anorma, anomi. Itu keadaan tanpa aturan.
Makin banyak pasal yang dimuat untuk mengubah pasal yang lama, norma lama makin banyak yang dibuang, tidak efektif lagi, norma baru ini membutuhkan waktu untuk efektivitas, maka ada keadaan di tengah-tengah, itu keadaan anomi, tidak beraturan, sama dengan kacau.
Jadi UU ini menciptakan kekacauan di tengah kekacauan. Di tengah covid ini bukan menjadi solusi, tetapi dia menciptakan kekacauan di tengah kekacauan gara-gara Covid.
Seharusnya ini (UU Ciptaker) diterapkan dalam keadaan biasa, normal. Jadi perlu sosialisasi, perlu ada perdebatan publik yang saling mendengar, cukup waktu, sehingga omnibus law itu efektif dan bermanfaat untuk diterapkan untuk menata hukum Indonesia.
Tetapi dalam keadaan tidak normal, justru sebaliknya yang perlu kita lakukan itu UU yang tipis-tipis, meng-address konkret masalah apa. (Contoh) ada kebijakan baru yang mau kita praktikan tapi melanggar UU. Supaya tidak melanggar UU ya bikin UU baru. Kalau waktunya enggak sempat ya bikin Perppu. Jadi, kesempatan untuk bikin Perppu sebanyak-banyaknya ya sekarang ini. Keadaan darurat kok. Tapi di-address satu-satu dengan maksud tujuan yang jelas.
Misalnya kayak tadi, ada 30 perusahaan sudah negosiasi dengan BKPM, mau pindah dari China ke Indonesia dengan syarat a, b, c, d. Lalu Vietnam menawarkan hal yang sama, Thailand menawarkan hal yang sama., Lalu kita ingin menawarkan hal lebih menarik padahal UU belum ada. Negosiasi dulu, setelah negosiasi baru kita bikinkan Perppu untuk mereka. Masuk itu. Jadi kan konkret manfaatnya, namun tidak mengganggu UU yang lain.