Kedua, UU Ciptaker ini juga berpotensi memberikan karpet merah bagi TKA di Indonesia. Korporasi tidak perlu dipusingkan oleh syarat RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing). Pasalnya, dalam RPTKA, pemberi kerja/ perusahaan harus memenuhi sejumlah syarat antara lain; (1) alasan penggunaan tenaga kerja asing; (2) jabatan dan/atau kedudukan tenaga kerja asing dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan; (3) jangka waktu penggunaan tenaga kerja asing; (4) penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan.
“Sebenarnya dalam Pasal 43 UU Ketenagakerjaan diatur mengenai sejumlah syarat bagi sebuah perusahaan untuk bisa mempekerjakan TKA melalui RPTKA. Memang dibuat agak rumit, karena secara filosofis pasal ini dibentuk untuk memastikan bahwa tenaga kerja lokal bisa terserap dan terlindungi secara maksimal untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja bagi perusahaan. Namun sangat disesalkan, dalam Omnibus Law pasal ini dihapus,” kata Bukhori.
Tidak hanya itu, dalam Pasal 44 juga diatur bahwa perusahaan/pemberi kerja bagi TKA wajib menaati ketentuan mengenai jabatan dan standar kompetensi yang berlaku. Akan tetapi, pasal ini turut dihapus dalam Omnibus Law.
“Artinya, penghapusan pasal 43 dan 44 telah membuka peluang bagi potensi penggunaan TKA unskilled secara massif dan hilangnya peran Negara dalam melindungi warga negaranya. Lapangan kerja yang semestinya bisa dikerjakan oleh tenaga kerja kita, akan direbut oleh tenaga asing sehingga seolah kita terjajah di negeri sendiri. Keuntungan yang semestinya bisa diperoleh oleh tenaga kerja kita, namun diambil alih oleh orang asing. Lalu dimana keberpihakan Negara? UU Cipta Kerja ini untuk siapa sebenarnya?,” sebutnya.