FAJAR.CO.ID -- Pengamat politik Effendi Gazali mendatangi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dia terlihat memakai kemeja panjang berwarna merah muda sekitar pukul 14.03 WIB.
Pelaksana tugas (Plt) juru bicara KPK, Ali Fikri mengapresiasi kedatangan Effendi ke KPK. Sebab kesaksiannya penting untuk melengkapi berkas penyidikan kasus dugaan suap pengadaan bantuan sosial (bansos) penanganan Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun anggaran 2020.
“Kami apresiasi atas kehadiran yang bersangkutan memenuhi panggilan penyidik KPK,” kata Ali dalam keterangannya, Kamis (25/3).
Ali menyampaikan, seseorang yang dipanggil sebagai saksi tentu karena keterangannya dibutuhkan dalam rangka memperjelas rangkaian perbuatan para tersangka. Kesaksian Effendi dibutuhkan untuk melengkapi berkas penyidikan mantan pejabat pembuat komitmen (PPK) Kemensos, Matheus Joko Santoso.
“Perkembangan hasil pemeriksaan akan kami sampaikan lebih lanjut,” ujar Ali.
Diketahui, selain perkara dugaan suap pengadaan bansos Covid-19, Effendi Gazali juga pernah diperiksa dalam kasus dugaan suap penetapan izin ekspor benih lobster alias benur yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo. Effendi diperiksa penyidik KPK pada Kamis (4/3) lalu, dia ditelisik pengetahuannya soal kajian dan konsep rancangan kajian ekspor benih lobster.
Belum diketahui apa yang akan ditelisik penyidik KPK terhadap Effendi. Namun diduga, ia merupakan salah satu pihak yang mendapatkan kesempatan pengerjaan pengadaan bansos Covid-19. Informasi yang di dapat di lapangan Effendi diduga terkait dengan CV. Hasil Bumi Nusantara. Perusahaan itu disebut-sebut telah menerima lebih dari satu tahap pengadaan Bansos Covid-19
Dalam perkara dugaan suap bansos Covid-19, KPK telah menetapkan lima orang sebagai tersangka. Sebagai tersangka penerima suap diantaranya Juliari Peter Batubara selaku Menteri Sosial (Mensos); Matheus Joko Santoso (MJS) dan Adi Wahyono (AW) selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) di Kemensos. Selain itu sebagai pemberi suap, KPK menetapkan Ardian Iskandar Maddanatja (AIM) dan Harry Sidabuke (HS) selaku pihak swasta.
KPK menduga, Juliari menerima fee sebesar Rp 17 miliar dari dua periode paket sembako program bantuan sosial (Bansos) penanganan Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek. Penerimaan suap itu diterima dari pihak swasta dengan dimaksud untuk mendapatkan tender sembako di Kementerian Sosial RI.
Juliari menerima fee tiap paket Bansos yang di sepakati oleh Matheus Joko Santoso selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) sebesar Rp 10 ribu perpaket sembako dari nilai Rp 300 ribu perpaket Bansos.
Sebagai Penerima MJS dan AW disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Sementara itu, JPB disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Pihak pemberi AIM dan HS disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (jpg)