Kisah Tiga Bersaudara setelah Orang Tua Meninggal, Mereka Komitmen Saling Jaga

  • Bagikan

FAJAR.CO.ID, BALI -- Kisah pilu tiga bocah bersaudara di Banjar Muntigunung Tengah, Desa Tianyar Barat, Kecamatan Kubu, Karangasem, memang benar adanya.

Meski telah ditinggal kedua orangtua (ortu) untuk selamanya, tiga anak ini berkomitmen untuk saling menjaga. Seperti pesan yang selalu disampaikan ayah dan ibunya semasa hidup.

Jarak tempat tinggal Ketut Pait, 13, dari jalan raya sangat jauh. Dia bersama kakak, Komang Desi, 16 dan adiknya, Wayan Dika, 7, sejak dulu tinggal di rumah orangtuanya di daerah perbukitan Tianyar Barat. Untuk bisa ke sana, harus melewati jalanan beton sepanjang hampir 1 km. Kemudian masuk ke pemukiman kecil yang aksesnya sempit dan berbatu. Dari situ, sekitar 500 meter lagi berbatasan dengan hutan wilayah Songan, Kintamani, Bangli. Sangat jauh.

Raut wajah Ketut Pait, malu-malu saat ditemui, Kamis (8/4) pagi. Sesekali murung, lalu beberapa saat kemudian ceria lagi. Begitu pula Desi, kakak perempuan Pait yang murung sambil merapikan rambut yang tak terurai sempurna. Hanya Dika yang selalu ceria, berlarian ke setiap kamar yang ada di rumahnya.

Kehidupan tiga anak yang awalnya memprihatinkan, kini sudah lebih baik. Dua ruang tidur yang sebelumnya tampak tak terawat, kini bersih. Ada kasur baru, pemberian komunitas relawan yang sempat menyambangi mereka, beberapa waktu lalu. Dinding rumahnya sudah dicat warna hijau muda. Atap yang awalnya kerap bocor, kini sudah diganti memakai seng. Itu juga bantuan relawan.

Pait, Desi, dan Dika kini bisa hidup tenang, lebih nyaman. Meski serba kecukupan, ekspresi ketiganya terlihat tampak lebih cerah dan segar dari sebelumnya. “Kalau ngumpul, ya dapat bermain. Dulu waktu masih jualan, jarang dapat kumpul. Adik (Dika) sama Pait saja di rumah, saya jauh (merantau),” ujar Komang Desi.

Kemesraan yang mereka tunjukkan sudah dibangun saat kedua orangtuanya masih ada. Mereka berkomitmen untuk saling menjaga dan mengasihi. Terbukti, saat Ayah dan Ibu mereka pergi menghadap Yang Mahakuasa, beberapa tahun lalu, kemandirian mereka terbentuk.

Desi mengakui, bantuan yang diterimanya sebagai keluarga penerima manfaat (PKM) belum cukup membiayai kebutuhan setiap bulan. Apalagi Ketut Pait, satu-satunya anak yang sekolah di keluarga itu, perlu biaya untuk mengenyam pendidikan dan kebutuhan makan saban hari. Praktis, Desi yang tak sekolah memilih berjualan tisu ke Batubulan, Sukawati, atau Ubud, Gianyar.

Dari sana, keluarga Desi mendapat pemasukan. Ironis, di usia yang semestinya fokus untuk sekolah, Desi justru jualan. Dia tak bisa pulang ke Tianyar apabila belum mendapat hasil jualan. Mau tidak mau tidur di emper toko jadi solusi agar besok bisa lanjut jualan. “Kalau sudah dapat uang, baru pulang. Uangnya dipakai beli sayur, bek (daging) kalau bisa. Tapi jarang. Makanya adik saya sering makan nasi sambel,” tuturnya.

Ketut Pait menuturkan, keperluan rumah tangga dia yang tangani. Sebab, Desi sudah bertugas mencari uang, sementara dirinya yang menjaga Dika sekaligus mengurus rumah. Tatkala sekolah, Dika dititipkan ke tetangga. “Kalau sekarang Desi gak jualan lagi (berhenti). Sudah dia yang jaga adik. Saya tetap sekolah di SD 6 (filial Tianyar Barat),” ungkap anak ketiga dari empat bersaudara itu.

Nah, setelah kisahnya diketahui khalayak, beberapa komunitas datang ke rumahnya memberi bantuan. Seperti kebutuhan pangan, kasur, dan uang. Bagian rumahnya yang rusak juga dapat bantuan perbaikan. Mereka pun dapat tinggal di rumah itu dengan nyaman saat ini.

Kepala Dusun Muntigunung Tengah Made Merta mengatakan, tiga bocah yatim piatu ini merupakan keluarga kurang mampu. Kemandirian mereka muncul setelah kedua orangtuanya meninggal akibat sakit. Pada 2012 lalu, keluarga ini sudah mendapat bantuan bedah rumah dari Pemkab Karangasem.

Keluarga ini juga sudah menjadi keluarga penerima manfaat (PKM) bantuan pemerintah. Seperti bantuan program sembako sebesar Rp 200 ribu tiap bulan. Uang itu dipakai untuk memenuhi keperluan setiap hari. Begitu pula jaminan kesehatan, serta bantuan program keluarga harapan (PKH) yang disalurkan sebanyak 4 tahap dalam kurun waktu per tiga bulan. “Tapi bantuan ini belum cukup memenuhi kebutuhan sehari. Syukur ada bantuan dari komunitas yang memberikan sembako, dan memperbaiki atap rumah yang bocor. Kami juga berharap agar ada bantuan siapa saja untuk bisa menyekolahkan Desi. Sedangkan adiknya, Dika rencananya akan disekolahkan tahun ajaran baru ini oleh relawan,” pungkasnya.

Seperti diberitakan Bali Express (Jawa Pos Group), beberapa hari lalu, kisah nelangsa keluarga kecil ini dimulai selepas sang ibu, Ni Ketut Srialih meninggal setahun silam karena sakit ginjal. Kepergian itu menyusul mendiang ayah mereka, I Wayan Srialih yang menghadap Sang Mahakuasa, tiga tahun lalu. Belum usai kesedihan mereka, kakak sulung, Made Ngemben meninggal beberapa hari lalu di usia 16 tahun karena sakit.

Praktis, Ketut dan dua saudaranya hidup mandiri. Sepupu mereka, Gede Andi menuturkan, kehidupan Ketut Pait dan saudaranya jauh dari kata mewah. Serba kecukupan. Untuk makan enak saja jarang karena sulitnya mendapatkan lauk-pauk. Yang bikin salut, ketiganya saling menjaga. Tatkala Desi berjualan masker dan tisu ke Gianyar, Ketut Pait yang tangani urusan rumah sekaligus menjaga Dika.

Beberapa waktu lalu, bantuan mulai berdatangan. Tidak sedikit donatur yang memberikan aneka kebutuhan kepada tiga bocah tersebut. Seperti beras, sayuran, kasur, uang tunai, bahan untuk perbaikan rumah, hingga kebutuhan pokok lainnya. “Saudara kami diberi bantuan oleh donatur. Astungkara mencukupi,” ucap Andi.

(bx/aka/man/JPR)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan