Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang PSE, Peneliti Respons Begini

  • Bagikan

Senada, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Nenden Sekar Arum mengatakan bahwa Permen 5/20 memberikan kewenangan yang terlampau besar pada pemerintah, dalam hal ini Kemenkominfo. Kementerian di bawah pimpinan Johnny G. Plate itu bisa dengan mudah memblokir dan mendapatkan akses data-data pribadi jika dianggap diperlukan. Hal tersebut bisa disalahgunakan untuk membungkam orang-orang tertentu yang dianggap ’’meresahkan masyarakat’’ dengan definisi yang amat lentur. ’’Worst case scenario-nya, misalnya, adalah yang vokal mengkritisi pemerintah, Kominfo bisa melakukan take down dan mendapatkan data-data pribadi orang tersebut dengan mudah. Jadinya pembungkaman,” katanya.

Menurut Nenden, itu terjadi karena Permen 5/20 tidak memuat grievance system alias sistem pengaduan jika Kemenkominfo melakukan ’’moderasi’’ data tersebut secara keliru. ’’Tidak ada mekanisme komplain kenapa konten saya di-take down. Tidak disebutkan dalam aturan tersebut. Termasuk juga bagaimana jika Kominfo yang salah dalam melakukan pemblokiran,” jelasnya.

Soal kewenangan akses data dalam penyelidikan hukum, menurut Nenden, juga perlu dijelaskan secara lebih detail. ’’Pengambilan datanya sampai sejauh mana? Seberapa banyak? Apakah diambil semuanya? Kemudian, retensi datanya berapa lama? Siapa yang mengawasi Kominfo dalam melakukan semua hal itu?” ungkap Nenden.

Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika) Kominfo Semuel Abrijani Pangerapan menyatakan tidak benar jika pemerintah mendapatkan akses data dari PSE sepanjang waktu. Pemerintah hanya meminta akses data apabila terjadi insiden atau kecelakaan. Terutama jika penegak hukum butuh data. ”Misalnya, ada kejahatan penipuan oleh sebuah akun. Apa benar akun ini melakukan penipuan, kita kan harus mengambil data itu,” ujar pria yang akrab disapa Semmy itu.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan