Muslih adalah kepala Pasukan Mobilisasi Populer (PMF) provinsi Anbar, yaitu sekelompok milisi Syiah yang didukung oleh Iran, yang dianggap oleh Amerika Serikat sebagai ancaman terbesar bagi keamanan di Timur Tengah.
Namun tindakan pemerintah Irak yang menangkap Qasim Muslih justru mengakibatkan reaksi responsif yang sangat cepat dari kalangan milisi Irak. Barisan milisi serta merta memberikan ancaman kuat terhadap Pemerintah Irak, sehingga sehari kemudian Qasim Muslih pun dilepas kembali.
Rentetan penculikan dan pembunuhan tersebut memunculkan ketakutan tersendiri para para kandidat yang akan ikut serta di dalam Pemilihan Parlemen. Klimaksnya, saat ini muncul trend tuntutan untuk menunda bahkan sampai kepada pemboikotan Pemilihan Parlemen. Para kandidat lebih memilih keselamatan diri sendiri dari pada harus diculik ataupun dibunuh oleh orang tak dikenal.
Blackshart, Perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Irak memperingatkan bahwa keengganan untuk berpartisipasi dalam Pemilihan Parlemen pada bulan Oktober atau bahkan memboikotnya akan berdampak negatif dan tidak akan menyelesaikan masalah negara, melainkan justru akan memperburuknya. Dia juga menegaskan bahwa penundaan Pemilihan Parlemen tidak akan menciptakan keadilan bagi rakyat Irak, malah akan membuat rakyat Irak kehilangan hak-haknya.
Perwakilan Sekjen PBB di Irak, Jenin Plasschaert, juga mengeluarkan peringatan bahwa kehadiran kelompok bersenjata yang terus-menerus di luar kerangka resmi akan menyeret Irak ke jurang dan melemahkan wibawa negara. Pembunuhan, penculikan dengan target aparat keamanan maupun pangkalan pangkalan militer, atau praktik apa pun di luar kerangka negara, mak Irak akan menghadapi masa depan yang tidak bisa diprediksi.