Saat musim kemarau, pencemaran udara Jakarta oleh puluhan fasilitas tersebut di area Jawa Barat turut berkontribusi pada penurunan kualitas udara Jakarta. Sedangkan saat musim penghujan, giliran fasilitas yang beroperasi di area Banten yang berkontribusi signifikan pada penurunan kualitas udara ibu kota.
Melalui hempasan angin, Jakarta dikepung polusi Particulate matter (PM) 2.5 yang merupakan polutan yang berbahaya bagi manusia dan lingkungan. Partikel ini berukuran 2.5 mikron–6,8 kali lebih kecil dibanding rambut manusia.
PM2.5 yang mencemari Jakarta berasal dari lima kota, bahkan lebih. Di antaranya adalah Cilegon dan Tangerang di Banten, serta Karawang Barat, Purwakarta, dan Bandung di Jawa Barat.
Berdasarkan indeks kualitas udara Kedutaan Besar Amerika Serikat, terdapat 27 dan 29 hari pada tahun 2018 dan 2019 di mana jumlah polusi PM2.5 di Jakarta melampaui baku mutu udara ambien Indonesia, sebesar 65 mg/m3 per hari.
Sementara, pada sembilan hari selama 2017-2019, kadar PM 2.5 di Jakarta tercatat sangat buruk–melebihi 80 mg/m3. Angka ini lebih tinggi ketimbang dua provinsi tetangga.
Fenomena ini—-menurut analisis CREA—-kemungkinan terjadi akibat emisi Sulfur Dioksida (SO2), dan Nitrogen Oksida (NOx) juga dihasilkan dari pembakaran batu bara PLTU di Jawa Barat dan Banten. Kedua material pencemar berbahaya tersebut kemudian bertransformasi menjadi PM 2.5 dan terbawa hingga ke kawasan Jakarta. Hal ini terbukti dengan kadar NOx dan SO2 yang tinggi di kawasan industri dan pembangkit listrik di Banten. (bs/eds)