Satu hal yang menggelitik penulis adalah kehadiran perusahaan ritel berlabel merah dan biru di seluruh penjuru tanah air. Mereka membangun bisnis di hampir semua jalur jalan, baik dalam kota maupun daerah. Mereka menggurita hingga ke gang-gang kampung. Tidakkah ini masuk kategori praktik monopoli? Kehadiran ritel ini mematikan hampir sebagian besar warung-warung kelontong milik warga yang selama ini menjadi tempat terdekat bagi konsumen membeli kebutuhannya seperti sabun, gula, bumbu masak dan lainnya. Secara perlahan usaha mereka memudar. Masyarakat beralih ke swalayan-swalayan yang menyediakan barang dagangan yang jauh lebih lengkap, rapi dan di tata di ruangan yang terang benderang meski harus melayani diri sendiri.
Toko-toko swalayan ini ada dimana-mana. Satu toko dengan toko lainnya bisa hanya berjarak ratusan meter. Kadang dengan merek yang sama. Tak jarang pula dua toko yang berbeda berdiri berdampingan atau saling berhadapan. Hanya dibatasi jalan raya. Tidakkah ini masuk persaingan tidak sehat? Mereka “merampas” customer warung kelontong yang ada di lorong-lorong. Warga yang semula berbelanja di warung tetangga lebih memilih mengunjungi supermarket mini.
Di Makassar dua merek perusahaan swalayan hampir ada di semua jalur jalan. Bukan hanya di jalan utama. Harga barang yang ditawarkan cenderung lebih murah. Toko ritel ini turut berperan mematikan ekonomi lorong (gang). Fenomena tersebut membuat Bupati Gowa almarhum Ichsan Yasin Limpo kemudian diteruskan oleh bupati selanjutnya yang juga putra Ichsan Yasin Limpo, Adnan Purichta Ichsan mengeluarkan regulasi larangan kehadiran dua perusahaan ritel ini membangun bisnisnya di Gowa.