FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Hubungan seks di luar nikah atau perzinahan diatur dalam dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) segera disahkan dalam waktu dekat.
Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari menjelaskan aturan tersebut dapat berlaku jika adanya pengaduan dari pihak terkait seperti suami/istri, orang tua/anak bagi yang tidak terikat perkawinan.
Draft ini mengalami perubahan dari yang pernah dibahas sebelumnya. Sebelumnya, beberapa pihak dapat melakukan tuntutan terhadap perbuatan yang melanggar norma tersebut.
"Draft hasil rapat tanggal 24/11/2022 sudah berubah. Delik perzinahan dan kohabitasi sekarang menjadi delik aduan dan yang berhak mengadu dibatasi, untuk yang terikat perkawinan hanya istri/suami yang berhak mengadu, yang tidak terikat perkawinan, orang tua/anak," tulisnya di Twitter, Senin (5/12/2022).
Perlu diketahui jika pasal yang mengatur tentang perzinahan bukanlah pasal baru. KUHP telah diatur dan digunakan saat ini. Namun, dalam draft RUU terakhir telah mengalami perubahan.
Adapun perubahan tersebut yaitu perluasan bagi pelapor selama hal ini di luar ikatan pernikahan. Orang tua atau anak bisa menjadi pengadu dalam hal ini. Ini juga merupakan perubahan dari draft sebelumnya.
"Pasal perzinahan bukan pasal yang baru muncul dalam RKUHP, pasal ini sudah ada di KUHP yang saat ini berlaku, namun mengalami perluasan yakni orang tua/anak bisa menjadi pengadu bagi yang tidak terikat perkawinan. Dalam KUHP existing hanya suami/istri yang bisa menjadi pengadu," sambungnya.
Dalam RKUHP juga diatur mengenai pasal Kohabitasi (tinggal bersama layaknya suami istri/kumpul kebo).
Sebelumnya pasal tersebut tidak terdapat dalam KUHP. Sama dengan pasal tentang perzinahan, pelapor hanya boleh suami/istri, orang tua/anak jika tidak terikat perkawinan.
Disebutkan Taufik, pasal yang mengatur tentang Kohabitasi dalam RKUHP 2019 periode DPR sebelumnya menjadi kontroversial.
Hal ini karena kepala desa diberikan kewenangan sebagai pengadu. Ayat ini kemudian dicabut setelah banyaknya masukan ke DPR.
"Pada draft RKUHP 2019 pd periode DPR yg lalu (2014-2019) pasal kohabitasi (hidup bersama spt suami istri) ini menjadi kontroversial karena memberikan kewenangan bagi kepala desa sebagai pengadu. Setelah mendapat masukan maka ayat tentang kepala desa ini dicabut dari draft," jelasnya.
"Dengan dihapusnya ayat tentang kepala desa sebagai pengadu pada pasal kohabitasi (hidup bersama) maka selain berdasarkan aduan suami/istri atau orang tua/anak maka perbuatan ini tidak dapat dituntut. Bahkan pengaduan ini dapat ditarik kembali selama proses persidangan belum dimulai," lebih lanjut.
Taufik menyebut dalam tulisannya pada rapat pembahasan (24/11/2022) lalu, dirinya meminta agar pasal tentang kohabitasi ini dilakukan pertimbangan kembali karena adanya aduan keberatan dari sekelompok masyarakat.
"Dalam pembahasan tanggal 24/11/22 saya sempat meminta agar pasal kohabitasi ini dipertimbangkan kembali karena ada keberatan beberapa kelompok masyarakat. Namun terdapat berbagai pandangan termasuk yang ingin mempertahankan pasal ini yang juga harus dihormati," ungkapnya.
Masyarakat perlu diedukasi jika pada rumusan terakhir RKUHP bahwa delik ini termasuk kejahatan dalam lembaga perkawinan yang tidak bisa dituntut kecuali yang berhak melakukan aduan menuntut hal tersebut. (Elva/Fajar)