Terpisah, pengamat senior Didik Rachbini memandang persoalan tersebut memang jamak terjadi di era otonomi. “Isu otonomi dan keadilan pusat daerah seperti ini hidup sepanjang lebih dari setengah abad, bahkan sejak zaman sentralisasi Orde Baru sampai ada otonomi keuangan daerah sekarang,” jelasnya kepada Jawa Pos.
Menurut dia, keluhan, kekecewaan, dan ketidakpuasan seperti itu wajar terjadi dan harus ditanggapi pemerintah pusat dengan transparan. Bahkan, jika perlu, harus ada perbaikan-perbaikan aturan, baik dari sisi undang-undang maupun aturan main di bawahnya. Didik menyebut aspirasi dari pemerintah daerah harus tetap diperhatikan karena daerah merupakan bagian dari satu kesatuan NKRI.
Namun, lanjut Didik, proses dialog menjadi tidak kondusif ketika bupati Meranti menyebut Kemenkeu diisi iblis dan setan. Apalagi, bupati mengancam untuk angkat senjata dan bergabung dengan Malaysia.
“Ucapan dan tindakan seorang pejabat negara seperti ini sudah bisa dikategorikan makar. Jika seperti ini dibiarkan berjalan wajar dan biasa-biasa saja, bukan tidak mungkin banyak lagi pejabat negara yang mulai mengoyak NKRI dan kesatuan bangsa akan menjadi rapuh,” jelas Didik. (jpg/fajar)