عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ لَهَا أُرِيتُكِ فِي الْمَنَامِ مَرَّتَيْنِ أَرَى أَنَّكِ فِي سَرَقَةٍ مِنْ حَرِيرٍ وَيَقُولُ هَذِهِ امْرَأَتُكَ فَاكْشِفْ عَنْهَا فَإِذَا هِيَ أَنْتِ فَأَقُولُ إِنْ يَكُ هَذَا مِنْ عِنْدِ اللهِ يُمْضِهِ
‘Aisyah ra. meriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda kepadanya, “diperlihatkan kepadaku tentang dirimu dalam mimpiku sebanyak 2 (dua) kali. Aku melihatmu pada sehelai sutra dan ia (malaikat) berkata kepadaku, “inilah istrimu, maka lihatlah! Ternyata perempuan itu adalah dirimu, lalu aku mengatakan, “jika ini memang dari Allah, maka Dia pasti akan menjadikan hal itu terjadi” (HR Bukhari).
Dalam kaitan ini juga perlu dicatat bahwa ‘Aisyah adalah satu-satunya istri Nabi yang dipersunting di waktu gadis dan muda. Ini penting untuk disampaikan karena apa yang dilakukan Nabi selalu disertai dengan tujuan-tujuan mulia yang menyertainya. Demikianlah pernikahannya dengan ‘Aisyah dimaksudkan sebagai cara untuk memelihara ilmu-ilmu Islam yang berkaitan dengan al-ahwâl asy-syakhshiyyah karena apa yang dilakukan Nabi bersama ‘Aisyah merupakan sumber keilmuan Islam. Hal ini terbukti bahwa ’Aisyah ra meriwayatkan sebagian besar hadis-hadis Nabi, terutama permasalahan perempuan dan keluarga.
Kelima, aspek tarikh tasyri’. Dari sisi tarikh tasyri’, peristiwa pernikahan ‘Aisyah dengan Nabi Muhammad saw. terjadi pada periode Makkah. Masa tersebut merupakan masa turunnya ayat-ayat yang menuntunkan tentang akidah dan akhlak, belum memasuki masa-masa tasyri’ yaitu masa dirumuskannya hukum-hukum far’iyyah ‘amaliyyah. Dengan demikian maka peristiwa tersebut tidak dapat dijadikan landasan penetapan pernikahan usia anak-anak. (suaraaisyiyah/fajar)