Andi Taufiq Aris, Direktur Strategi PPI (Pemenangan Parameter Publik Indonesia)
FAJAR.CO.ID -- Boleh jadi wacana paling kental seputar pilpres paska mendaftarnya Prabowo-Gibran di KPU, adalah tudingan bahwa Presiden Jokowi, lewat anaknya, mencoba membangun politik dinasti.
Tapi, ada baiknya jika ingin mendiskusikan persoalan ini, mari coba melepas sikap sentimental berlebihan. Sikap yang terdorong lahir karena emosional.
Jangan karena ketidaksukaan pada satu variabel kebijakan Jokowi, membuat mata anda tertutup pada sejumlah potensi positif dari duet yang saling melengkapi itu.
Apalagi, jika yang menuduh politik dinasti itu adalah politisi yang besar di partai yang tidak menunjukkan akan ada tanda-tanda pergantian ketua umum. Atau misalnya, digantipun, yah paling oleh anaknya lagi.
Jika melihat bagaimana partai-partai yang memiliki pergantian ketua umum yang tidak jelas, atau yang mewariskannya--atau siap-siap mewariskan--kepada anak sendiri posisi ketua umumnya, menjadi pemenang pemilu, maka seharusnya ini adalah jawaban bahwa politik dinasti itu sesuatu yang lumrah dan bisa diterima.
Lihat saja, kita ambil contoh partai PDIP,
Nasdem, Demokrat, sampai Gerindra. Sampai hari ini toh masyarakat memilih partai tersebut bahkan kursinya di DPR mendominasi.
Proses pilres sudah melahirkan 3 pasangan yang di mata kita semua tentu yang terbaik dari yang bisa dicalonkan oleh para koalisi parpol. Mari memilih dengan kecenderungan masing-masing.
Tiga pasangan itu punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Kelebihan capres dan kekurangan cawapres, saling melengkapi dan mengukuhkan.
Boleh jadi, orang yang sudah tidak ingin PDIP kembali berkuasa tetap memilih Ganjar karena suka dengan kehadiran Mahfud sebagai cawapresnya.
Boleh jadi, orang yang tidak suka dengan politik dinasti dan produk Mahkamah Keluarga yang coba disematkan pada kehadiran Gibran, tetap memilih Prabowo karena tahu sosok Menkopolhukkam itu adalah sosok tegas berlatar militer.
Atau yang tidak suka dengan sosok Prabowo karena sudah dinilai tua tetap memilihnya karena tahu dukungan penuh Jokowi dipercayakan kepada pasangan ini.
Boleh jadi juga, mereka yang beranggapan Anies kental dengan politik identitas akhirnya tetap memilihnya karena faktor Muhaimin. Atau karena bosan dengan ketegangan antara Prabowo vs Ganjar.
Fakta di atas seharusnya membuat kita semua paham tidak ada pasangan yang sempurna. Yang sekaligus memastikan bahwa kondisi itu, tidak cukup dihadapi dengan sikap sentimental.
Dari pilpres ke pilpres, polarisasi sikap pendukung capres dalam menjual pasangannya cukup variatif.
Ada yang suka mengajak dan berkampanye dengan baik, santun, dan memilih bercerita tentang kelebihan dukungannya.
Ada juga yang lebih getol melakukan penyangkalan kekurangan capresnya. Seolah capresnya sempurna dan tidak punya kekurangan. Ada juga, yang tidak terlalu paham dengan capres pilihannya, lalu lebih suka bahas kejelekan capres lain.
Nah, di kelompok mana pun Anda sebagai pendukung capres, pastikan anda tidak memilih sekadar karena sentimental. Karena, jika pilihan didasari sentimen, untuk apa berada argumen? Jika pilihan didasari sentimen, biasanya hanya berujung perselisihan!.