FAJAR.CO.ID — Raja XII Gowa, Tunijallo merupakan putra dari Raja Gowa XI Tunibatta. Tunibatta tewas setelah penyerangan ke Kerajaan Bone.
Saat masih muda, Tunijallo sempat melarikan diri ke Bone untuk menghindari kemarahan mertuanya, Tunipalangga yang merupakan Raja X Gowa.
Tunijallo tinggal di Bone selama dua tahun. Bahkan dia sempat menjadi kesayangan penguasa Bone VII, Arungpone La Tenriawe.
Perselisihan antara Kerajaan Bone dengan Gowa membuat adanya konflik psikologis di dalam diri Tunijallo.
Leonard Y Andayana dalam buku Warisan Arung Palakka menyebut Tunijallo sangat sulit untuk mendampingkan rasa terima kasihnya kepada Bone dan tugas dari kerajaannya.
Awalnya, Tunijallo disebut menghindari konfrontasi dengan Bone dan berkonsentrasi untuk memperkuat hubungan Gowa dengan dunia luar.
Tunijallo mungkin saja tidak merasa cukup kuat untuk berkonfrontasi dengan pasukan Bone, namun pertumbuhan kekuatan Gowa sangat menarik perhatian Bone, bahkan setelah perjanjian Caleppa.
Bone mendorong Wajo dan Soppeng untuk bergabung ke dalam persekutuan pertahanan untuk menahan serangan Gowa.
Sebagaimana dalam perjanjian awal, Wajo dan Luwu, mereka melakukan gerakan simbolis untuk menciptakan kesamaan derajat dengan jalan penyerahan tanah dari sekutu yang lebih besar kepada yang lebih kecil.
Dalam hal ini, masing-masing pihak dengan sukarela menyepakati—tanpa kehilangan muka—sebuah perjanjian dengan sesama “saudara’, yang berarti derajatnya sama.
Meski begitu, kekuatan setiap kerajaan yang berbeda tidak dapat diabaikan, dan perumusan yang memuaskan dibuat, di mana Bone dianggap sebagai saudara tertua, Wajo di tengah dan Soppeng sebagai yang termuda.
Persekutuan ini terkenal dengan nama Tellumpocco, atau “Tiga Kekuatan” (Noorduyn 1955:251-2).”
Pada saat ditetapkannya persetujuan Tellumpocco pada tahun 1582, Wajo dan Soppeng mengaku sebagai bawahan Gowa.
Usai kekalahan Luwu pada perang melawan Gowa di bawah Tumaparisi’ Kallonna, Luwu dipaksa melepaskan pengaruh kekuasaannya terhadap Wajo kepada Gowa.
Wajo kemudian bangkit melawan Gowa, namun dengan mudah dipatahkan dan segera dihukum dengan menurunkan derajatnya menjadi status “budak” dari Gowa (Noorduyn 1955:73-6).
Begitu juga Soppeng, menjadi korban kedigdayaan Gowa. Di Lamogo, Soppeng, La Pasiweang Pétta Puang ri Samang, Datu (penguasa) Soppeng, dan Tunipalangga, Karaeng Gowa, menetapkan kesepakatan yang jelas menyatakan superioritas Gowa.
Meski begitu, dengan pembaharuan Perjanjian Caleppa, Wajo dan Soppeng lepas dari kekuasaan Gowa dan menempatkan mereka ke bawah pengaruh kekuasaan Bone.
Pada Perjanjian Timurung tahun 1582 yang menciptakan Tellumpocco, Bone telah siap untuk mengangkat kerajaan-kerajaan bawahan ini menjadi status mitra sejajar agar memperoleh dukungan penuh untuk melawan serangan-serangan Gowa berikutnya.
Bukannya merasa terancam, Gowa bahkan terpancing melihat perkembangan ini, dan Wajo menjadi korban dari serangan Gowa tahun 1583.
Meski kali ini Wajo berhasil memukul mundur Gowa dengan bantuan Bone dan Soppeng. Jelaslah bagi Tunijallo’ dan bangsawan-bangsawannya bahwa rintangan utama bagi ekspansi Gowa adalah Bone, dan bahwa tanpa Bone tidak akan ada negara lain di bagian timur semenanjung yang berani melawan Gowa.
Maka pada tahun 1585, Gowa mengirimkan tentaranya untuk menyerang Bone, namun entah dengan alasan apa, tidak dijelaskan dalam Kronik Gowa, tentara ini mundur sebelum melewati perbatasan.
Invasi Gowa lainnya pada tahun 1588 berhasil dipukul mundur setelah berperang selama tujuh bulan.
Karena tidak berhasil melawan Bone, Tunijallo mengirimkan tentaranya melawan Wajo tahun 1590, namun dalam perjalanan dia dibunuh oleh seorang anak buahnya sendiri.
Konfederasi Téllumpocco berhasil untuk sementara menghapus bahaya dari Gowa.
Kematian Arumpone La Ténrirawe pada tahun 1584 dan Tunijallo pada tahun 1590 mengakhiri perang Bone-Gowa pada sisa abad ke-16. (selfi/fajar)