Nasib Pendidikan Anak di Pesisir Makassar; Menanggung Derita Penambangan Pasir dan Alpanya Pemerintah

  • Bagikan
Tiga siswa SMA Citra Bangsa, Kodingareng saat memasuki gerbang sekolah (Foto: Arya/Fajar)
Tiga siswa SMA Citra Bangsa, Kodingareng saat memasuki gerbang sekolah (Foto: Arya/Fajar)

Penulis: Arya Nur Prianugraha

Jannah mengurung dirinya di kamar dua hari dua malam. Tidak makan, tidak mandi. Ia menangis. Setelah orang tuanya memintanya berhenti sekolah.

“Mengamuk Jannah. Saya bilang berhenti saja sekolah kalau harus bayar. Karena bapakmu belum ada penghasilan,” kenang Mumi, Ibu Jannah, saat bercerita kepada saya, 21 Desember 2023 di rumahnya.

Mumi, 39 tahun, ialah Warga Pulau Kodingareng, Kecamatan Kepulauan Sangkarrang, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. 

Pulau seluas 48 hektare itu berjarak 16 kilometer dari pusat Kota Makassar. Satu-satunya transportasi massal ke sana menggunakan kapal penumpang, dengan kapasitas tak lebih 50 orang. 

Kapal itu hanya melakukan satu kali pelayaran pergi pulang dalam sehari. Tarifnya Rp 15 ribu satu kali Perjalanan. Penumpang naik dari Dermaga Kayu Bangkoa. Letaknya di Jalan Penghibur, Kecamatan Ujung Pandang, Makassar, 500 meter dari destinasi wisata tersohor Anjungan Pantai Losari.

Sejam kemudian, tiba di sebuah dermaga, dengan lantai dan atap yang bocor. Itu satu-satunya dermaga di Pulau Kodingareng.

Pulau yang dihuni 4.560 jiwa itu dikelilingi pantai pasir putih. Masyarakat, yang mayoritas nelayan, memarkir perahunya di situ. Titik awal bertaruh nasib di laut untuk mencari penghidupan.

Begitu juga keluarga Mumi. Ibu Rumah Tangga anak tiga itu memenuhi kebutuhan rumah tangganya dari pendapatan suami sebagai nelayan.

Jannah, anak keduanya, kini duduk di Kelas 1 SMA Citra Bangsa. Sekolah Menengah Atas satu-satunya di Pulau Kodingareng. 

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan