Nasib Pendidikan Anak di Pesisir Makassar; Menanggung Derita Penambangan Pasir dan Alpanya Pemerintah

  • Bagikan
Tiga siswa SMA Citra Bangsa, Kodingareng saat memasuki gerbang sekolah (Foto: Arya/Fajar)
Tiga siswa SMA Citra Bangsa, Kodingareng saat memasuki gerbang sekolah (Foto: Arya/Fajar)

Data tersebut merupakan riset pada 2020. Saat aktivitas tambang pasir laut berlangsung. Kepala Divisi Hukum dan Politik Hijau Walhi Sulsel, Afriandi Anas, menyebut kondisi saat ini lebih parah.

Itu didasarkan dari riset Identifikasi HAM dan Strategi Bertahan Hidup ‘Survival’ Perempuan Kodingareng-Galesong dalam Menghadapi Perubahan Iklim oleh Walhi Sulsel.

Selain warga di Kodingareng, sejumlah warga di gugusan Pulau Spermonde juga ikut terdampak kerusakan lingkungan pasca tambang. Seperti di Pulau Barrang Caddi, yang juga dominan menangkap ikan di Coppong Lompo.

Kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir laut, kata Afriandi, diperparah dengan kondisi perubahan iklim saat ini. Hasil laut sebagai penopang ekonomi warga pulau rusak. Perputaran ekonomi tersendak. “Banyak masyarakat yang memilih bermigrasi”.

Bagaimana Komitmen Pejabat Kita?

Hak anak mengenyam pendidikan, seperti yang termaktub dalam konvensi hak anak bagi anak-anak Kodingareng dan Barrang Caddi hanya sekadar konsep saja. Nasib mereka adalah potret nyata pendidikan tak aksesibilitas. Kolaborasi apik antara negara yang tidak hadir memberikan hak warganya, dan perusahaan yang merusak ruang hidup warga.

PT Pelindo Regional 4, sebagai perusahaan negara yang menjalankan proyek MNP merasa tak bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan dan dampak sosial yang terjadi akibat reklamasi. 

“Karena kami fokus ke proyeknya,” kata Enriany Muis.

Petinggi perusahaan plat merah itu berdalih, pihaknya tidak tahu menahu soal penambangan pasir. Semua hal tentang penambangan, kata dia, merupakan tanggung jawab PT Royal Boskalis sebagai pihak ketiga.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan