Sekolah itu terletak di ambang dermaga. Berhadapan dengan Masjid Al Akbar. Pagarnya setinggi satu setengah meter, berwarna hijau dan biru muda.
Gerbangnya hanya satu, dengan lebar tak sampai dua meter. Jika lima anak bergerombol berlari bersamaan saat pulang sekolah, hampir pasti ada di antara mereka yang menabrak pagar.
Secara keseluruhan, bentuk bangunannya sama dengan sekolah kebanyakan di Indonesia. Sebuah lapangan upacara di tengah, lalu dikelilingi ruang kelas dan ruang guru.
Sekolah swasta itu memungut iuran Rp 130 ribu per bulannya. Uang tersebut dikelola Yayasan Pengembangan Citra Anak Bangsa. Digunakan untuk operasional sekolah: membayar gaji guru, membeli alat tulis menulis, dan keperluan lainnya.
“Ada juga yang dibayar tiap mau ulangan,” kata Mumi. Jika tak bayar, maka siswa tidak bisa ikut ulangan. Bagi Mumi, uang segitu tidak sedikit. “Belum lagi uang jajan setiap hari”. Jumlahnya mulai Rp 5 ribu sampai Rp 10 ribu.
Itu alasan dirinya meminta Jannah berhenti sekolah pada pertengahan 2023. Ia tak sanggup lagi membiayai anaknya yang bercita-cita jadi guru.
Iuran sekolah Jannah sempat menunggak dua bulan. “Hampir tidak diikutkan ujian. Jadi saya menghadap (pada pihak sekolah), supaya bisa ikut ujian. Saya bilang belum ada uang. Akhirnya diizinkan masuk”.
Penanggung Jawab iuran siswa SMA Citra Bangsa, Dullah, sempat tak percaya jika orang tua Jannah tidak punya uang Rp 260 ribu—untuk menebus tunggakan iuran sekolah dua bulan. Dullah, yang juga guru olahraga itu, mengenal bapak Jannah, Mahir, sebagai juragan. Punya perahu untuk tangkap ikan sendiri.