Nasib Pendidikan Anak di Pesisir Makassar; Menanggung Derita Penambangan Pasir dan Alpanya Pemerintah

  • Bagikan
Tiga siswa SMA Citra Bangsa, Kodingareng saat memasuki gerbang sekolah (Foto: Arya/Fajar)
Tiga siswa SMA Citra Bangsa, Kodingareng saat memasuki gerbang sekolah (Foto: Arya/Fajar)

Tapi bagi nelayan seperti Mahir, perahu dan pancing tak ada gunanya ketika tak ada ikan yang bisa dipancing. Hasil tangkapan sedikit dan tak jarang nihil. 

Warga Pulau Kodingareng, seperti Mahir yakin, kondisi itu terjadi karena wilayah tangkap nelayan Kodingareng, Coppong Lompo sudah rusak. Akibat aktivitas penambangan pasir laut 2020 silam.

Sebelum penambangan, Mahir bisa dapat Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta sehari. Pasca penambangan, pendapatannya menurun drastis. Ia hanya memeroleh Rp 200 ribu sehari. Belum lagi mesti berlayar lebih jauh karena wilayah tangkap rusak. 

“Ongkos satu kali jalan Rp 300 ribu. Pendapatan kadang Rp 200 ribu, sesekali Rp 500 ribu. Kadang tidak ada sama sekali,” jadinya lebih sering rugi, “belum lagi kalau mesin perahu rusak,” tutur Mahir, lirih. 

Keadaan itu membuat Mahir memarkir perahunya pada Mei 2023. Meninggalkan Pulau Kodingareng, lalu bekerja di PT Cargill, sebuah perusahaan penyedia pakan hewan. Letaknya di Jalan Kapasa Raya, Kecamatan Tamalanrea, Makassar.

Di perusahaan milik Keluarga Cargill-MacMillan—salah satu keluarga terkaya di dunia—itu, status kerja Mahir tidak jelas. Ia diupah per pekan. “Tergantung berapa karung pakan yang dimasukkan ke dalam karung”. Mulai Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu.

Upahnya itu digunakan untuk menyewa kamar indekos seharga Rp 300 ribu per bulan. Dikirim Rp50 ribu ke pulau tiap pekan, dan sisanya untuk biaya hidupnya di kota.

Enam bulan bekerja di sana. Mahir berhenti. Pendapatannya bekerja di perusahaan milik salah satu keluarga terkaya di dunia itu, dinilainya tidak sesuai dengan pengeluaran. Lebih besar pasak daripada tiang.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan