Nasib Pendidikan Anak di Pesisir Makassar; Menanggung Derita Penambangan Pasir dan Alpanya Pemerintah

  • Bagikan
Tiga siswa SMA Citra Bangsa, Kodingareng saat memasuki gerbang sekolah (Foto: Arya/Fajar)
Tiga siswa SMA Citra Bangsa, Kodingareng saat memasuki gerbang sekolah (Foto: Arya/Fajar)

Ia kembali ke pulau pada November 2023. Kepulangan itu menjadi babak baru perjalanan hidupnya. Mahir mesti bekerja agar bisa menghidupi dirinya dan keluarganya. Namun jika memaksakan diri melaut menggunakan perahunya, ia hanya akan tekor.

Akhirnya, ia terpaksa menjual perahunya seharga Rp 23 juta. Perahu jenis jolloro—semacam perahu kelotok bermesin—, yang menghidupi istri dan tiga anaknya puluhan tahun itu kini telah pindah tangan. Sekarang, ia jadi nelayan tanpa perahu. Menjadi buruh di perahu kerabatnya.

Tiap hari, setelah salat Subuh, Mahir sudah bersiap-siap melaut. Berbekal makanan dari sang istri, sebungkus rokok, dan kopi hitam. Rata-rata ia bisa mendapat empat kilogram cumi-cumi. Satu kilogram cumi-cumi, dihargai Rp 50 ribu di tengkulak. 

“Kalau dapat Rp 200 ribu. Saya dibayar Rp 75 ribu,” ucapnya. Jika beruntung, ia bisa dapat upah sampai Rp 500 ribu. “Tapi tidak sering, syukur kalau ada sebulan sekali”.

Jika sial, malah bisa buntung. Tidak ada tangkapan, maka tidak ada upah. Tidak ada upah, maka tidak ada uang untuk keluarga di rumah. 

Sementara untuk menyambung hidup tiap harinya, Mahir bilang keluarganya butuh setidaknya Rp 80 ribu per hari. Jumlah itu hanya untuk memastikan dapur terus berasap. Belum untuk uang sekolah Jannah, untuk bayar listrik, dan kebutuhan lainnya.

Kondisi itu membuatnya kembali memutar otak. Mahir belakangan ini ikut perahu yang berlayar hingga ke Kabupaten Kepulauan Selayar. Sekali pelayaran bisa sepuluh sampai 15 hari. Diupah mulai dari Rp 650 ribu.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan