FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan Sekretaris BUMN, Muhammad Said Didu, kembali melontarkan kritik pedas terhadap kebijakan Jokowi saat masih menjabat Presiden.
Kritik Said Didu kali ini terkait dengan pengelolaan tambang di Indonesia.
Said Didu menilai bahwa kebijakan pengolahan tambang yang diterapkan selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945.
"Mengamanatkan agar Sumber Daya Alam (SDA) dikuasai negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," ujar Said Didu di X @msaid_didu (17/2/2025).
Dikatakan Said Didu, berdasarkan pengamatannya selama ini, Prabowo mesti mengambil langkah dan kebijakan tegas terkait kebijakan yang ditinggalkan Jokowi.
"Mengoreksi kebijakan pengolahan tambang yang dilakukan Presiden Jokowi selama sepuluh tahun terakhir," cetusnya.
Lebih lanjut, Said Didu menuturkan bahwa Jokowi secara fakta sudah menyerahkan hampir seluruh tambang milik Indonesia kepada pihak lain.
"Jokowi menyerahkan yang kita miliki kepada perusahaan China, asing, atau swasta yang juga sebenarnya di belakangnya adalah asing," terangnya.
Said Didu juga menyoroti kebijakan hilirisasi smelter yang, menurutnya, hampir sepenuhnya diserahkan kepada pihak asing dan swasta.
"Demikian juga perusahaan hilirisasi smelter itu juga hampir diserahkan semua kepada asing dan swasta," Said Didu menuturkan.
Kebijakan ini, tambahnya, memberikan pembebasan pajak bagi perusahaan-perusahaan yang mengolah tambang, namun hal tersebut mengakibatkan hilangnya potensi pendapatan negara.
"Kebijakan Jokowi memberikan kebebasan pajak kepada perusahaan tambang yang mengolah perusahaan tersebut," imbuhnya.
"Anehnya, pembebasan pajak tersebut betul-betul menghilangkan kemungkinan negara memperoleh pendapatan," tambahnya.
Said Didu menyarankan agar Presiden Prabowo melakukan audit menyeluruh terhadap tambang yang telah diserahkan kepada pihak asing, serta memberi perhatian khusus pada program hilirisasi.
"Yang harus dilakukan Prabowo, buat secara khusus audit tambang yang diserahkan Jokowi," tandasnya.
Salah satu poin penting yang ia soroti adalah pemberian pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap program hilirisasi apabila terjadi lonjakan harga yang tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah ditetapkan.
"Juga yang menarik, mengaudit siapa saja, saya mendapatkan informasi, dilakukan pemalakan terhadap pengolahan tambang tersebut," terangnya.
Said Didu bilang, pemalakan tersebut dilakukan oleh aparat dan pihak-pihak yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan, yang memperburuk kondisi pengelolaan tambang di Indonesia.
"Di proses IUP pemalakan dilakukan aparat dan orang-orang di sekitar kekuasaan," kuncinya.
(Muhsin/fajar)