Morotai, Saksi Bisu Perang Dunia II di Bibir Pasifik

  • Bagikan
Morotai menjadi saksi bisu Perang Dunia II antara Amerika Serikat dengan Jepang pada 1941-1945. Foto: Pram/fajar

FAJAR.CO.ID, MOROTAI -- Selain memiliki keindahan wisata bahari, Pulau Morotai juga menyimpan kekayaan sejarah. Kabupaten di Maluku Utara ini menjadi saksi bisu Perang Dunia II antara Amerika Serikat dengan Jepang pada 1941-1945. Sehingga pulau ini banyak menyisakan peninggalan bersejarah.

Adalah Muhlis Eso, seorang pegiat sejarah yang rajin mengumpulkan berbagai barang, senjata, dan situs-situs penting yang tersisa setelah pertempuran besar tersebut di dalam rumahnya.

Muhlis Eso menceritakan awal mula ketertarikannya mengumpulkan benda-benda sisa Perang Dunia II.

Berawal dari kakeknya yang merupakan seorang pejuang kemerdekaan, selalu menceritakan kisah pertempuran antara Negeri Paman Sam dengan Negeri Sakura kala itu.

Kakek Eso bercerita, setiap hari di langit Morotai selalu ada pertempuran udara. Begitu juga di laut. Kapal-kapal tenggelam akibat perang menjadi pemandangan sehari-hari saat itu. Kakeknya juga bercerita banyak tubuh pasukan dari kedua negara yang terkubur.

"Saya sudah 21 tahun mengumpulkan barang-barang bekas perang. Awalnya dari kakek. Beliau bilang saya tidak boleh meninggalkan sejarah. Kemudian kakek mulai bercerita soal perang antara Amerika dan Jepang," kata Eso.

Berawal dari pesan sang kakek itulah pada tahun 80-an yang memacu dirinya yang kala itu berusia 10 tahun untuk mengumpulkan benda-benda Perang Dunia II.

"Saya perkirakan masih ada 75 persen benda-benda peninggalan tersebut. Baik itu di darat atau di laut," ucapnya.

"Orang-orang tidak hanya mengenal Morotai saja, tetapi harus tahu kalau benda-benda ini merupakan bagian sejarah dari sini (Morotai)," lanjutnya.

Benda kuno yang pertama ditemukan Muhlis adalah tempat makan milik tentara sekutu. Antara lain, botol air minum, mangkuk, dan piring yang salah satunya bertulisan Shenango China, New Castle. Pabrik piring itu berada di Pennsylvania, AS, yang didirikan pada 1901 dan bangkrut pada 1991.

Di dalam rumah Eso terdapat mural yang menghiasi dinding, menggambarkan tentara mengangkat bendera AS di sebuah tiang, mural lainnya menunjukkan pesawat dengan bendera Jepang.

Eso sendiri yang mencari barang-barang peninggalan perang dan mengumpulkannya jadi satu.

Ada juga beberapa senjata seperti senjata mesin laras panjang jenis SMB 12.7, rudal, bazoka, berikut amunisinya.

Sementara itu, benda-benda yang berkondisi masih bagus direlakan untuk disimpan di Museum PD II yang dibangun untuk menyambut Sail Morotai 2012. Pengelolaan museum milik Pemda Morotai itu selama ini juga diserahkan kepada Muhlis.

Menurut Eso, tidak mudah merawat benda-benda bersejarah tersebut. Dirinya mesti menyediakan 10 liter solar setiap minggu untuk membersihkan koleksi museum pribadinya. Harga seliter solar di Morotai sekitar Rp 8 ribu. "Minimal saya harus keluar Rp 80 ribu seminggu. Belum yang lain-lain," ujar Eso.

Upaya Muhlis mempertahankan cuilan sejarah PD II di tanah kelahirannya bukan tanpa godaan. Terutama dari orang-orang yang menginginkan benda-benda bersejarah itu. Mereka berupaya memengaruhi Eso agar mau melepas koleksinya tersebut.

 "Saya berusaha menyadarkan mereka semampu saya. Kalau ada yang emosional, saya biarkan dulu. Baru setelah itu mereka saya beri pemahaman," ungkapnya. 

Eso berharap sejarah PD II di Morotai bisa masuk dalam buku pelajaran sekolah. Sebab, tanah kelahirannya itu menyimpan banyak cerita, mulai Perang Dunia sampai aksi Trikora merebut kembali Papua. (Pram/Fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan