Jokowi Lulus 1985, Tapi Skripsinya Gunakan Font Garamond 1989?

  • Bagikan
Biografi Prof Sumitro tertulis menjabat dekan pada periode 1983-1986 tetapi tandatangan dekan di ijazah Jokowi adalah Prof Soenardi.

FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pakar digital forensik, Rismon Hasiholan Sianipar, kembali membongkar dugaan kejanggalan pada lembar pengesahan skripsi mantan Presiden Jokowi.

Ia mempertanyakan penggunaan jenis huruf (font) Garamond pada dokumen yang diyakini berasal dari era 1989.

Rismon mengatakan, font Garamond versi Adobe pertama kali dirilis pada 1989.

Hal itu membuatnya heran mengapa jenis font tersebut sudah digunakan dalam lembar pengesahan skripsi yang diklaim ditulis Jokowi saat masih kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan lulus 1985.

"Font Family garamond, dirilis pertama kali oleh Adobe Garamond pada 1989. Kok bisa ada di lembar pengesahan skripsi Jokowi?,” kata Rismon di X @SianiparRismon, kemarin.

Dalam cuitan tersebut, Rismon juga menyertakan potongan gambar judul skripsi bertuliskan huruf tebal bergaya serif, yang ia curigai sebagai font Garamond.

Rismon mengaku masih terus menelusuri versi Garamond yang dirilis pada era 1990-an hingga awal 2000-an.

Ia tampaknya berusaha memastikan apakah font dalam skripsi Jokowi benar-benar tidak sesuai dengan era penulisan.

“Saya lagi cari Garamond font family tahun 90-an atau awal 2000-an," tandasnya.

Sebelumnya, Bareskrim Polri telah menyatakan bahwa penyelidikan terkait ijazah Presiden Jokowi dihentikan karena tidak ditemukan unsur pidana.

Penyelidikan itu juga dianggap telah memenuhi syarat administratif serta tidak berdasar kuat untuk dilanjutkan ke tahap penyidikan.

Pernyataan itu tercantum dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas (SP3D) yang ditandatangani langsung oleh Kepala Biro Pengawasan Penyidikan Bareskrim, Brigjen Pol Sumarto.

Surat tersebut telah dikirimkan ke pihak pelapor, yakni Wakil Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), Rizal Fadillah.

“Penghentian penyelidikan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” bunyi kutipan dari isi surat SP3D, dikutip pada Senin (4/8/2025).

Adapun dokumen-dokumen yang sebelumnya diserahkan TPUA ke penyidik, dinilai tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti hukum dalam kasus tersebut.

Hal ini menjadi dasar utama Bareskrim untuk menghentikan penanganan perkara.

Namun, pihak TPUA tidak tinggal diam. Mereka melayangkan surat keberatan atas keputusan tersebut, menyatakan bahwa dasar hukum penghentian penyelidikan tidak sejalan dengan ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun Peraturan Kapolri (Perkapolri).

“Bahwa penghentian penyelidikan 22 Mei 2025 yang dibenarkan dalam SP3D 25 Juli 2025 berdasar alasan ‘sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku’ tidaklah benar, karena tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP maupun Perkapolri,” demikian isi surat keberatan TPUA yang dirilis Selasa (29/7/2025), dan ditandatangani Rizal Fadillah.

Rizal juga menyoroti bahwa Presiden Joko Widodo maupun dokumen ijazah aslinya tidak dihadirkan dalam gelar perkara khusus yang dilangsungkan pada 9 Juli 2025.

Ia pun menegaskan pentingnya membedakan antara alat bukti dan barang bukti dalam proses hukum.

“Pasal 184 KUHAP menyatakan bahwa alat bukti adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa,” kata Rizal dalam pernyataannya.

Atas dasar itu, TPUA mendesak agar proses hukum tidak dihentikan begitu saja, dan menilai Bareskrim seharusnya membawa perkara ini ke tahap pembuktian lebih lanjut.

(Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan