Muhammad Takbir Malliongi Dosen Muda UIN Alauddin Makassar
Hari ini, Prof. Musafir Pababbari, Rektor UIN Alauddin Makassar (UINAM), tepat memasuki usia yang ke-63 tahun. Bagi orang Islam, angka ini dipandang usia sebagai ideal dan paripurna, dengan merujuk kepada Rasulullah Muhammad saw. Uniknya, ini bertepatan dengan akhir masa jabatannya sebagai orang nomor satu di kampus Islam terbesar di Indonesia Timur, amanah yang diembannya selama 4 tahun. Tentu di balik semua kekuranganya, ada segudang warisan (legacy) yang ditinggalkan Prof. Musafir, baik secara personal (nilai) maupun sebagai leader institusional, yang penting kita pelajari. Bagi orang sering bersentuhan langsung dengannya, ada banyak hal yang menarik untuk diceritakan. Seperti ungkapan Stave Saint, seorang penulis dari negeri Equador, bahwa “ceritamu adalah warisan terbaik yang akan kamu tinggalkan kepada sahabatmu. Itulah warisan terakhir yang akan kamu akan tinggalkan kepada pewarismu.” Jejak-jejak intelektualnya Musafir lahir di Makassar, tepat pada tanggal, 17 Juli 1956 silam. Ibunya bernama Andi Wettoweng, sedang ayahnya bernama Andi Pababbari Pangeran. Ia adalah anak kelima dari sepuluh bersaudara. Ia memulai pendidikan dasarnya di SD Aisyah, dan kemudian di Muallimin (serata PGA 6 tahun). Gelar kesarjanaan diperolehnya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, jurusan Perbandingan Agama. Sejak S1 telah ia menggeluti studi fenomenologi agama, disiplin yang kelak mengantarnya memperoleh gelar akademik paripurna, Profesor di bidang Sosiologi Agama, pada tahun 2008. Hingga kini, ia menjadi guru besar pertama dan satu-satunya di bidang ini di Indonesia bagian tengah dan timur. Di mata mahasiswanya, ia adalah sosok yang humaliter dan egaliter. Di kelas, ia tak penah menempatkan dirinya secara hierarkis, dosen-mahasiswa. Dalam mengajar, ia menerapkan metode, learning how, bukan learning something. Baginya, setiap subjek belajar harus berada pada intensi yang sama agar iklim belajar menjadi hidup dan aktif. Adapun jejak intelektualnya dapat ditelusuri melalui artikel-artikelnya yang dapat diakses lewat “google scholar”, sedangkan buku-bukunya dapat diperoleh di tokoh buku terdekat. Gagasannya yang paling orginal dan fenomenal adalah kritiknya terhadap tesis umum bahwa “elite agama dapat memengaruhi preferensi politik masyarakat.” Namun, dalam penelitiannya di Sulawesi Barat, ia justru menemukan fakta yang sebaliknya. Elite agama tidak berpengaruh signifikan terhadap pilihan politik warga. Dengan kata lain, fakta di tempat ini merupakan anomali dan anti-tesis dari tesis sebelumnya. Olehnya itu, baginya, suatu teori besar (grand theory) tidak dapat diuniversalisasi. Selalu ada “konteks” dalam setiap justifikasi (judgement) teori sosial. Dan, justru “kontekslah” yang mendeterminasi perilaku sosial dan politik. Sementara, konteks sendiri selalu bersifat cair dan negoisatif, tidak pernah beku dan statis. Tangga-tangga karier struktural Sejak diangkat menjadi dosen kementerian agama tahun 1986, ia setidaknya menapaki karier struktural dari tingkat yang paling bawah, sekretaris jurusan perbadingan agama. Namun tak berselang lama, Dekan Fakultas Ushuluddin dan FIlsafat, Prof. Galib, memintanya menjadi wakilnya untuk urusan Administrasi Umum dan Perencenaan Keuangan (Wakil Dekan 2). Amanah ini pun tidak disia-siakannya. Ia bahkan mendapat apresiasi dari semua civitas akademika di lingkungan fakultasnya. Prestasinya yang cukup baik, membuka mata Prof. Azhar Arsyad, Rektor UIN Alauddin, dengan menunjuknya menjadi Dekan di fakultas yang menjadi anak kandung IAIN Alauddin ini. Sepanjang empat tahun menjabat, ia berhasil mendorong lahirnya jurnal al-Fikr, yang kala itu menjadi satu-satunya jurnal terakreditasi se-Indonesia Timur. Ia sungguh menyadari bahwa kampus adalah ruang produksi pengetahuan (knowledge), dan jurnal adalah wadahnya. Selain itu, ia pun menyadari bahwa fakultas dipimpinnya, “Ushuluddin” yang berarti “dasar agama”, harus menjadi episentrum tumbuh-kembangnya gagasan-gasasan keislaman yang segar (fresh) pada satu sisi, dan menjadi rahim dari lahirnya ulama intek sekaligus intelek ulama pada sisi lain. Untuk mendorong ide ini, ia menginisisasi berdiri dua program studi baru, yakni; Prodi Sosoiologi Agama dan Prodi Ilmu Politik (konsentarisi Politik Profetik). Urgensi dua jurusan mengingat realitas agama di Indonesia yang sangat plural dan rentang konflik. Bahkan, sudah menjadi fenomena sosial di negeri ini, “politik seringkali mendeterminasi agama, begitu juga sebaliknya, agama melegitimasi kepentingan politik.” Adapun usaha FUF melahirkan ulama, maka dikembangkan program khusus (Tafsir Hadis Khusus – Tahfidz al-Quran), Ma’had Ali, sebagai program kederisasi. Meskipun program ini dimulai oleh dekan sebelumnya, Prof. Galib, namun dikembangkan oleh Prof.Musafir kala itu. Bahkan, pada masanya, tahun 2009, juga dibuka untuk Jurusan Aqidah Filsafat Khusus – penulis adalah salah satu alumninya. Program ini didesain sedemikian sehingga dapat menjadi pendidikan ulama. Kurikulum pembelajarannya pun mengacu pada teks-teks primer (Arab dan Inggris). Empat tahun masa kepemimpinnya, cukup untuk mengubah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Menjadi Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik. Lebih jauh, mampu membawa fakultas ini dari sepi peminat menjadi surplus peminat. Olehnya sebab itu, seusai menjadi Dekan, Prof. Qadir Gassing yang menjabat sebagai Rektor UINAM (2010-2014), kala itu, meminangnya menjadi wakilnya untuk urusan Administrasi Umum dan Perencenaan Keuangan (WR. 2). Dan sekali lagi, amanah itu diselesaikannya dengan tuntas.Wajah UIN Alauddin di eranya
Di tengah polemik kepemimpinan yang berpanjangan di UINAM tahun 2014 silam, tiba-tiba nama Prof. Musafir keluar sebagai senyawa di antara rivalitas kedua belah pihak. Ia dipandang dapat menjadi perekat dari semua perbedaan. Ia pun resmi dilantik sebagai orang nomor satu di kampus hijau itu, tepat pada tanggal 09 Juli 2015, amanah yang tak pernah diimajikan sebelumnya. Sebagai Top Leader, yang pertama dilakukannya adalah rekonsiliasi. Ia mengakomodir kedua belah pihak dengan cara memilih secara proporsional orang-orang professional di antara mereka untuk membantunya menjalankan roda organisasi. Kedua, adalah mengganti logo UINAM sebagai simbol lahirnya era baru. Baginya, saatnya bersatu dalam sprit yang sama menyongsong era UINAM yang lebih terang. Dan terbukti, 3 tahun kemudian, Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), menetapkan kampus peradaban ini memperoleh nilai A, Exellent. Dalam usaha meningkatkan kualitas kampus, Prof. Muasafir juga mendorong peningkatan sumber daya manusia. Ia menyadari bahwa esensi dari semua usaha peningkatan kualitas terletak pada human resources-nya. Oleh sebab itu, ia pun tidak tanggung-tanggung membuka formasi dosen terbanyak sepanjang sejarah UINAM, 320 orang. Meski demikian, yang tersaring hanya 252 orang setelah melewati seleksi ketat. Kini UINAM tumbuh menjadi kampus yang progresif. Apabila progresifitas ini terpelihara dan sumber dayanya dapat dimanage dengan baik, maka bukan sesuatu yang mustahil 50 tahun yang akan datang, UINAM menjadi rule model Perguruan Tinggi Islam Dunia. Terakhir, saya yang ingin menghaturkan terima kasih yang setinggi-tingginya atas abdimu”. Seperti diskusi kita tempo hari, engkau ingin memikmati sisa tugasmu dengan buku dan riset. Kami tentu menanti magnum opus-mu! Selamat Ulang Tahun Prof.! (*)