Rancangan UU KPK Disetujui 10 Fraksi, Dinilai Tidak berdasarkan Prolegnas

  • Bagikan
Adnan menilai, salah satu poin usulan Baleg dalam RUU tentang penyadapan telah melampaui kewenangan lantaran RUU Penyadapan belum dibahas. “Jadi kalau dulu mandat MK harus ada satu payung hukum, tapi kenapa di RUU KPK ini muncul lagi poin itu?,” tukasnya. Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar memandang poin-poin yang disampaikan dalam RUU revisi UU KPK merupakan upaya pelemahan terhadap lembaga antirasuah. Pembentukan Dewan Pengawas (DP), kata dia, akan mempersempit ruang gerak KPK untuk mengungkap kasus lantaran fungsi penyadapan harus memerlukan izin DP. “Konten-konten ini lah yang pada waktu lalu ditolak masyarakat dan banyak pihak lainnya. Sehingga perubahan itu gagal dilakukan karena memang arahnya melemahkan KPK secara kelembagaan,” tutur Fickar. Lebih lanjut dikatakan Fickar, kewenangan penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diberikan kepada KPK sebagaimana dalam poin RUU, akan menempatkan komisi antirasuah sebagai lembaga yang tidak berwibawa. “Yang menjadi pertanyaan atas dasar kebutuhan apa rencana perubahan UU KPK ini digulirkan?,” tanya dia. Sedikitnya terdapat enam poin yang diajukan dalam revisi UU KPK. Materi muatannya antara lain: 1. Kedudukan KPK sebagai lembaga penegak hukum yang berada pada cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan. Meski KPK merupakan cabang kekuasaan eksekutif, dalam menjalankan tugas dan wewenangnya KPK bersifat independen. Pegawai KPK merupakan aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada peraturan di bidang aparatur sipil negara;
Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan