Sepuluh menit kemudian, serangan yang diantisipasi pun datang. Bungker bergetar tiap rudal menyentuh tanah. Di celah bangunan, dia melihat cahaya oranye yang terus berkilat. ”Saat itu dentuman dan kilat terus datang. Kami tak tahu kapan itu akan berakhir,” ungkap Ferguson.
Setelah keadaan kembali hening, beberapa personel keluar untuk mengecek apakah ada korban. Namun, tak ada yang tahu 15 menit kemudian gelombang kedua rudal balistik Iran datang. Beberapa personel tak sempat masuk ke bungker.
Ferguson pun marah dan cemas. Tak lama setelah gelombang rudal kedua berakhir, dia langsung keluar dan menggeret rekan yang berada di luar. ”Yang terpenting, saya kembalikan mereka dulu. Sisanya, kembali menunggu,” jelas Ferguson.
Setelah dirasa tak ada lagi serangan udara, tentara semakin tegang. Mereka memprediksi infanteri dari kelompok militan pro-Iran bakal datang menyusul serangan udara. Subuh mereka terus membidik ke semua arah lewat teleskop senjata. Namun, tidak ada serangan sampai matahari terbit. ”Kami benar-benar merasa lelah. Momen itu merupakan adrenaline rush terburuk sepanjang hidup,” ungkap Ferguson.
Setelah dihitung, jumlah korban jiwa dari serangan Iran rupanya nol. Namun, banyak yang mengatakan bahwa hal tersebut merupakan keajaiban, mengingat sistem pertahanan dan situasi yang terjadi saat itu.
Di dekat pangkalan, petugas mengukur berapa dalam lubang yang dibuat rudal tersebut. Rupanya serangan udara itu menembus 2 meter ke bawah tanah dengan diameter 3 meter. Rudal yang satu itu menghancurkan barak bagi pilot drone dan operator markas.