Subandi, salah seorang tetangga, mengungkapkan, Ponari bisa kembali bersosialisasi dengan warga setelah gonjang-ganjing batu itu mereda. ’’Ya, kadang begadang juga sama anak-anak muda sini,’’ ujarnya.
Dia menambahkan, warga setempat turut mendapat imbas pada masa ketenaran Ponari. Denyut ekonomi desa berjalan begitu cepat. ’’Pas itu jualan apa saja yo rame,’’ ucap Subandi.
Selain itu, keluarga Ponari dikenal murah hati. Tidak segan menyalurkan sebagian uang hasil pemberian pasien yang mereka terima untuk desa. Subandi menceritakan, musala yang berdiri di barat rumahnya dibangun dengan uang dari Ponari. Begitu pun perbaikan jembatan menuju dusun. ’’Kalau ke sini tadi di pinggir jalan ada masjid besar. Itu juga biaya renovasinya dari Ponari,’’ tambahnya.
Untuk mengabadikan peristiwa yang membuat desa mereka terkenal itu, warga menamai gapura menuju rumah Ponari dengan sebutan Gang Ponari. Ada empat gang di desa tersebut yang diberi nama Gang Ponari.
Sementara itu, setelah pasiennya tak lagi banyak, Ponari melanjutkan pendidikan. Dia kini telah menamatkan sekolah kejar paket B setara SMP. Ponari beberapa tahun lalu juga sempat tinggal di Sidoarjo bersama sejumlah temannya. Mereka bekerja di pabrik kerupuk. ’’Baru tiga hari kerja sudah ndak kerasan. Akhirnya pulang lagi ke Jombang,’’ ungkapnya.
Ponari lantas berpindah-pindah kerja di beberapa pabrik di sekitar Kabupaten Jombang. Salah satunya pabrik makanan ringan. Di situlah dia akhirnya bertemu dengan Zuroh. Perempuan 22 tahun asal Desa Jogoroto, Jombang, itu telah mencuri hati Ponari. Keduanya pun melangsungkan lamaran pada 11 Januari lalu. ’’Resepsinya insya Allah habis Idul Adha nanti,’’ kata Ponari.