Khususnya untuk kepentingan restrukturisasi utang beberapa BUMN sebesar hampir Rp 400 triliun. Sedangkan penempatan dana yang direncanakan oleh pemerintah di bank perantara hanya sekitar Rp 34 triliun.
Itupun dilakukan bukan dalam bentuk jaminan dari pemerintah. Sehingga risiko kredit tetap akan diambil oleh para bank perantara yang kemungkinan besar akan menolak atau sulit mengambil risiko kredit tersebut.
“Penyikapan pemerintah cukup kelihatan diskriminatif terhadap dunia usaha (nonUMKM dan BUMN) yang mana mereka selama ini sudah banyak membantu dalam perputaran roda ekonomi Indonesia,” ucapnya.
Ia mengingatkan, wabah Covid-19 sangat tidak pandang bulu, warna kulit, agama, geografi, ketenaran, kekuatan fisik maupun keuangan. Sikap Covid-19 yang sangat non-diskriminatif ini justru harus ditanggulangi dengan reaksi ataupun kebijakan responsif yang semestinya non-diskriminatif dan inklusif.
“Ini bukan semata hanya untuk kepentingan survival, tapi yang lebih penting lagi adalah untuk bisa lebih bersaing di kemudian hari,” imbuhnya.
Ia menambahkan, sangat disayangkan apabila dunia usaha swasta sebagai salah satu motor ekonomi yang telah membantu pendongkrakan ruang fiskal sebesar 15 kali dalam 20 tahun terakhir dengan mudahnya dianggap mampu untuk membantu dirinya sendiri. Kesalahan parkir logika tersebut sangat riskan dan akan tercermin dalam kelumpuhan daya produksi, daya saing, dan kapasitas peningkatan ruang fiskal di kemudian hari.
Disaat negara tetangga menggelontorkan lebih dari 10 persen dari PDB utk kepentingan pemulihan ekonominya, Indonesia sebagai ekonomi terbesar (43 persen dari perekonomian ASEAN) di ASEAN baru menyiapkan 2,5 persen dari PDB nya. “Ini mungkin mencerminkan kurangnya pendalaman mengenai inti permasalahan yang terjadi sekarang ini. Yang lebih penting lagi adalah pendalaman mengenai kemana kita mau arahkan perekonomian kita di kemudian hari,” kata Gita. (jpc/fajar)