"Rasanya Panji kelelahan," ujar sang ibu.
Senin lalu Panji mengeluh sulit bernafas. Sebenarnya ia ingin masuk rumah sakit. Tapi masuk rumah sakit di zaman Covid-19 serasa masuk ke sarang musuh.
Sang ibu membawa Panji ke klinik di dekat rumah. Ikut juga istri Panji --yang dinikahinya enam tahun lalu. Ikut juga Adit, adik bungsu Panji yang wajah maupun gendutnya mirim pinang dibelah.
Panji memang belum dikaruniai anak. Mereka biasanya selalu berempat itu di rumah ibunya itu. Rumahnya yang dibeli belum lama ini tidak ditempati.
Panji sebenarnya ingin punya anak. Pun kalau harus lewat bayi tabung. Panji dan istri sudah konsultasi ke dokter Oky --ahli bayi tabung di Surabaya.
Panji juga sudah menabung untuk biaya bayi tabungnya itu. Hanya saja Covid-19 keburu datang. Program itu ditunda --sampai ia merasa sesak nafas itu. Dan dibawa ke klinik itu.
Diketahuilah: detak jantung Panji tinggal 40. Diketahui juga SGPT dan SGOT-nya tinggi. Di atas 100.
Lewat perjuangan teman-temannya Panji akhirnya dapat rumah sakit. Ibu-istri-adik pulalah yang membawanya ke RS. Mereka pula yang terus menunggu. Ia harus dibantu alat untuk menambah oksigen.
Tidak juga membaik.
Ketika keadaan terus memburuk Panji tidak mendapat ICU --penuh semua.
Panji meninggal dunia.
Jelas bukan Covid-19.
Maka keluarga Panji minta jenazahnya bisa dibawa pulang segera.
Tidak bisa.
Harus dimasukkan peti. Harus cari peti mati dulu.
Keluarga keberatan dua-duanya: masuk petinya dan harga peti itu --Rp 6 juta. Tapi peraturan tidak bisa diajak kompromi.