Menjadi gendut itu hak asasi. Tapi kewajiban saya untuk mengurangi risiko beban di perusahaan. Lalu dua orang itu saya tantang: kalau dalam tiga bulan bisa turun 30 kg, akan saya beri hadiah masing-masing Rp 50 juta. Dari uang pribadi.
"Melihat prestasi Anda, saya yakin Anda akan bisa mencapai level direksi," kata saya. "Tapi kalau badan terus naik begitu jantung Anda tidak kuat untuk jadi direksi," tambah saya.
Empat bulan kemudian saya 'kecopetan' Rp 50 juta.
Delapan tahun kemudian saya membaca berita: salah satu dari mereka itu diangkat menjadi Direktur PLN --lalu menjadi Pjs Dirut PLN.
Orangnya tidak ambisius. Waktu ditawari untuk diangkat jadi Dirut definitif ia tidak mau.
Itulah Djoko Abunaman, pensiun dari direksi belum lama ini.
Sejak saya memanggilnya ke meja bundar itu saya tidak pernah bertemu Panji lagi. Sampai meninggalnya itu.
Beberapa jam setelah Panji meninggal saya telepon ke nomor ponselnya. Yang menerima suara seorang perempuan. Saya pikir dia istrinya. Saya perkenalkan nama saya. Saat itu juga suara itu hilang. Yang terdengat tinggal isak tangis yang panjang.
"Saya… ibu…nya…Pan.. ji.. Pak," ujarnyi sangat tersendat.
Saya tunggu sampai isak tangisnya berkurang. Tidak juga reda.
Justru kemudian terdengar raungan.
Sang ibu memang terus menemani Panji di hari-hari terakhirnya. Bahkan sejak awal bulan puasa lalu.
Sang ibu terus membantu Panji. Yang selama bulan puasa sangat aktif menyalurkan bantuan Covid-19. Terutama bahan makanan dari grup Nestle dan kemudian dari grup ABC.