FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Stunting adalah anak balita tubuh kerdil yang menjadi permasalahan di tanah air. Upaya menurunkan angka stunting terus digenjot dengan berbagai program seperti pola asuh, pola makan, dan sanitasi. Anak yang sudah terlanjur stunting, tak bisa untuk diperbaiki lagi kondisinya.
Maka yang harus diintervensi adalah pencegahan di masa depan. Dan, remaja dianggap sebagai pelopor yang mampu melakukannya.
Sebab remaja adalah calon ibu yang akan mengalami fase kehamilan, melahirkan, dan mengasuh buah hatinya. Remaja harus mulai diedukasi sebelum hingga akhirnya memasuki fase pernikahan.
Mengapa remaja dilibatkan? Menurut Program Advocacy and Communications Manager Tanoto Foundation Indiana Basitha, banyak yang menyangka isu stunting hanya untuk orang tua dan pasangan yang sudah menikah.
Padahal stunting adalah sebuah siklus. Jika calon ibu mengalami asupan gizi kurang sejak remaja ia berisiko punya anak kurang gizi dan si anak akan mencontoh pola makan ibunya dan terus berputar.
“Siklusnya dimulai sejak remaja putri. Maka masalah stunting harus jadi awareness sejak remaja agar mereka menjaga asupan gizinya, karena ia adalah calon orang tua,” katanya dalam webinar Saatnya Remaja Cegah Stunting, Rabu (26/8).
Data Riskesdas 2018 menunjukkan, 8,7 persen remaja usia 13-15 tahun dan 8,1 persen remaja usia 16-18 berada dalam kondisi kurus dan sangat kurus.
Global Health survei 2015 menunjukkan, penyebabnya antara lain remaja jarang sarapan, 93 persen kurang makan serat sayur buah. Ditambah angka pernikahan remaja di Indonesia tinggi, padahal hal ini berkontribusi pada kejadian stunting.
Remaja belum aware pentingnya gizi dan stimulasi yang tepat. Pengetahuan mereka sangat terbatas tapi mereka harus menikah, hamil dan jadi ibu.
Pengamat kesehatan dr Reisa Broto Asmoro menilai penting agar sekolah memasukkan materi edukasi stunting dan gizi ke dalam kurikulum.
Materi itu bisa diselipkan dalam materi saat remaja belajar tentang fase reproduksi. Sebab remaja adalah cikal bakal yang akan memulai kehidupan keluarga di masa depan.
“Indonesia darurat stunting. Kita butuh gerakan yang nyata, yang bisa mengubah kondisi ini. Kondisi anak sudah stunting tidak bisa berubah, yang penting bagaimana kita harus menyelamatkan generasi setelahnya,” ujar dr. Reisa.
Menurut dr Reisa, saat ini tidak ada ilmu parenting di sekolah. Oleh karena itu, kata dia, sudah seharusnya pemerintah memasukan ilmu ini di masa remaja yang sedang ingin tahu segala sesuatu, apalagi di masa pubertas. Kalau tidak punya pengetahuan, mereka nggak akan siap saat harus merawat anak.
“Edukasi di usia remaja, sejak usia 10-19 tahun adalah masa krusial. Harus tepat informasinya. Apalagi Indonesia kebanyakan mitosnya yang belum tentu benar tapi lebih dipercaya. Takutnya info yang kurang tepat akan mereka bawa terus sampai nanti punya anak,” tambah dr. Reisa.
“Kalau masa remaja enggak dapat ilmu, akan sulit untuk membangun keluarga berkualitas. Indonesia adalah negara emergency terhadap stunting. Kita harus mulai berubah. Stunting adalah kondisi yang enggak bisa balik lagi. Makanya selamatkan generasi setelahnya,” tambahnya.
Dokter Reisa juga menyinggung isu pernikahan dini menjadi penyebab tertinggi terjadinya gangguan anak dan kesehatan keluarga. Baik kesehatan fisik ataupun kesehatan mental dalam keluarga. Kalau perempuan belum siap menikah dan hamil, maka akan banyak dampaknya.
“Kalau enggak siap dan belum matang, bisa timbul stres dan depresi. Kondisi itu sangat erat dengan risiko bayi lahir stunting. Risiko menikah sebelum usia 20 tahun, saat melahirkan bisa timbulnya perdarahan, keguguran, preeklamsia. Risikonya bisa meningkat 2-5 kali lipat,” jelasnya.
“Lalu bayi lahir prematur dan berat badan lahir rendah. Dan ini berkaitan dengan stunting. Maka penting untuk mengintervensi gizi remaja dan mengedukasi mereka agar punya persiapan sebelum akhirnya menjadi orang tua nantinya,” tandas dr Reisa. (JPC)