Kemesraan yang mereka tunjukkan sudah dibangun saat kedua orangtuanya masih ada. Mereka berkomitmen untuk saling menjaga dan mengasihi. Terbukti, saat Ayah dan Ibu mereka pergi menghadap Yang Mahakuasa, beberapa tahun lalu, kemandirian mereka terbentuk.
Desi mengakui, bantuan yang diterimanya sebagai keluarga penerima manfaat (PKM) belum cukup membiayai kebutuhan setiap bulan. Apalagi Ketut Pait, satu-satunya anak yang sekolah di keluarga itu, perlu biaya untuk mengenyam pendidikan dan kebutuhan makan saban hari. Praktis, Desi yang tak sekolah memilih berjualan tisu ke Batubulan, Sukawati, atau Ubud, Gianyar.
Dari sana, keluarga Desi mendapat pemasukan. Ironis, di usia yang semestinya fokus untuk sekolah, Desi justru jualan. Dia tak bisa pulang ke Tianyar apabila belum mendapat hasil jualan. Mau tidak mau tidur di emper toko jadi solusi agar besok bisa lanjut jualan. “Kalau sudah dapat uang, baru pulang. Uangnya dipakai beli sayur, bek (daging) kalau bisa. Tapi jarang. Makanya adik saya sering makan nasi sambel,” tuturnya.
Ketut Pait menuturkan, keperluan rumah tangga dia yang tangani. Sebab, Desi sudah bertugas mencari uang, sementara dirinya yang menjaga Dika sekaligus mengurus rumah. Tatkala sekolah, Dika dititipkan ke tetangga. “Kalau sekarang Desi gak jualan lagi (berhenti). Sudah dia yang jaga adik. Saya tetap sekolah di SD 6 (filial Tianyar Barat),” ungkap anak ketiga dari empat bersaudara itu.
Nah, setelah kisahnya diketahui khalayak, beberapa komunitas datang ke rumahnya memberi bantuan. Seperti kebutuhan pangan, kasur, dan uang. Bagian rumahnya yang rusak juga dapat bantuan perbaikan. Mereka pun dapat tinggal di rumah itu dengan nyaman saat ini.