Tawarkan Penghasilan hingga Rp3,7 Juta, Pengusaha Kelor Ini Malah Diabaikan di Kampung Sendiri

  • Bagikan

"Kalau konsepnya 10 ribu petani, pasti petani akan sejahtera. Dan itu pasarnya ada, tidak perlu bingung mau dijual kemana. Karena semua petani kita kontrak jaminan pembelian. Dan tidak ada fluktuasi harga. Rata Rp50 ribu," ungkap Fadli.

Sejauh ini memang sudah ada beberapa daerah yang meminta untuk dikembangkan di daerahnya masing-masing seperti Soppeng, Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Barru, Maros, Sinjai, Wajo, dan Mamuju.

"Untuk saat ini baru Bulukumba yang saya respons ndi. Dan saya fasilitasi modalnya lewat KUR di Bank. Insyaallah sekitar 50an petani cair dananya bulan depan," ucapnya.

Fadli memaparkan, di Sulsel punya konsep 10 ribu petani kelor, kontraknya langsung ke person. Dan itu semua nanti akan difasilitasi kerjasama dengan Bank untuk menyediakan KUR kepada para petani.

Kalau bicara omset tutur suami Wira Nifira Inriani sederhananya ini bukan omset perusahaan, malah omset petani. Basisnya ini kan home industri, tenaga kerjanya adalah satu keluarga, kapasitas mesin itu per hari 15 kg daun basah, dan itu butuh 30 pohon kelor. Karena teorinya dua pohon kelor satu kg daun basah.

Rendemen atau penyusutan dari basah ke kering 20 persen. Jadi dari 15 kg itu setelah 24 jam di mesin pengering menjadi 3 kg. Mesin itu bekerja 25 kali dalam sebulan, jadi hitungan omsetnya 3 kg x 25 kali = 75 kg daun kering.

Direktur Bumdesma Wanua Tonra, Salamun Sabindo menambahkan, era pandemi covid-19, rutinitas warga khusus di pedesaan seakan juga mempengaruhi bagaimana pemenuhan ekonomi keluarga. Namun berbeda dengan sebagian kecil masyarakat di Desa Bulu-bulu yang saat ini sedang membudidaya pohon kelor.

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan