Dalam RKUHP juga diatur mengenai pasal Kohabitasi (tinggal bersama layaknya suami istri/kumpul kebo).
Sebelumnya pasal tersebut tidak terdapat dalam KUHP. Sama dengan pasal tentang perzinahan, pelapor hanya boleh suami/istri, orang tua/anak jika tidak terikat perkawinan.
Disebutkan Taufik, pasal yang mengatur tentang Kohabitasi dalam RKUHP 2019 periode DPR sebelumnya menjadi kontroversial.
Hal ini karena kepala desa diberikan kewenangan sebagai pengadu. Ayat ini kemudian dicabut setelah banyaknya masukan ke DPR.
"Pada draft RKUHP 2019 pd periode DPR yg lalu (2014-2019) pasal kohabitasi (hidup bersama spt suami istri) ini menjadi kontroversial karena memberikan kewenangan bagi kepala desa sebagai pengadu. Setelah mendapat masukan maka ayat tentang kepala desa ini dicabut dari draft," jelasnya.
"Dengan dihapusnya ayat tentang kepala desa sebagai pengadu pada pasal kohabitasi (hidup bersama) maka selain berdasarkan aduan suami/istri atau orang tua/anak maka perbuatan ini tidak dapat dituntut. Bahkan pengaduan ini dapat ditarik kembali selama proses persidangan belum dimulai," lebih lanjut.
Taufik menyebut dalam tulisannya pada rapat pembahasan (24/11/2022) lalu, dirinya meminta agar pasal tentang kohabitasi ini dilakukan pertimbangan kembali karena adanya aduan keberatan dari sekelompok masyarakat.
"Dalam pembahasan tanggal 24/11/22 saya sempat meminta agar pasal kohabitasi ini dipertimbangkan kembali karena ada keberatan beberapa kelompok masyarakat. Namun terdapat berbagai pandangan termasuk yang ingin mempertahankan pasal ini yang juga harus dihormati," ungkapnya.