“Ketika ada problem yang sudah kelihatan di depan mata ya dimitigasi, diubah apakah jamnya, apakah pengamanan, sop-nya, menurut saya sangat buruk. Kita memiliki hanya satu orang yang memiliki lisensi security dari FIFA dan itu tidak dimaksimalkan sayang sekali ya, Pak Nugroho namanya,” sambungnya.
Dijelaskan mantan komentator Liga Premier Indonesia (LPI) ini, dengan pengalaman dan pengakuan FIFA itu tidak dimanfaatkan oleh PSSI dalam memitigasi potensi-potensi terjadinya konflik antar suporter saat pertandingan big mathc antar dua klub yang menjadi rival, seperti Arema FC kontra Persebaya atau Persija Jakarta kontra Persib Bandung.
“Jadi dia ini punya sertifikasi yang luar biasa yang sebenarnya bisa dimanfaatkan, bagaimana kerusuhan suporter itu bisa terjadi dia bisa mengkalkulasi dari awal, oh berarti kita harus geser jamnya, oh berarti big match tidak boleh ada penonton tamu, atau oh berarti seandainya ada,” jelasnya.
Sigit pun mencontohkan laga-laga big mathc antar Boca Junior dan Rivel Plate di Liga Argentina. Dua tim ini dikenal sebagai musuh bebuyutan namun kedua suporter klub bisa nonton berberangan tanpa ada kerusuhan, karena pihak penyelenggara liga mampu mengelola sepak bola dengan baik dan melibatkan semua unsur yang dinilai memiliki kompetensi dalam penanganan masalah tersebut.
“Saya pernah ke Argentina nonton yang namanya Boca Junior dengan River plate, dua suporter yang bermusuhan, revalitasnya luar biasa tapi bisa nonton bareng. Saya belajar apa sih sebenarnya, ternyata pola pengamanannya. Jadi setengah jam selesai pertandingan mereka keluar, tapi yang satu nggak boleh keluar ke mana-mana sampai dikawal helikopter sampai bersih,” bebernya.