Boleh jadi, orang yang tidak suka dengan politik dinasti dan produk Mahkamah Keluarga yang coba disematkan pada kehadiran Gibran, tetap memilih Prabowo karena tahu sosok Menkopolhukkam itu adalah sosok tegas berlatar militer.
Atau yang tidak suka dengan sosok Prabowo karena sudah dinilai tua tetap memilihnya karena tahu dukungan penuh Jokowi dipercayakan kepada pasangan ini.
Boleh jadi juga, mereka yang beranggapan Anies kental dengan politik identitas akhirnya tetap memilihnya karena faktor Muhaimin. Atau karena bosan dengan ketegangan antara Prabowo vs Ganjar.
Fakta di atas seharusnya membuat kita semua paham tidak ada pasangan yang sempurna. Yang sekaligus memastikan bahwa kondisi itu, tidak cukup dihadapi dengan sikap sentimental.
Dari pilpres ke pilpres, polarisasi sikap pendukung capres dalam menjual pasangannya cukup variatif.
Ada yang suka mengajak dan berkampanye dengan baik, santun, dan memilih bercerita tentang kelebihan dukungannya.
Ada juga yang lebih getol melakukan penyangkalan kekurangan capresnya. Seolah capresnya sempurna dan tidak punya kekurangan. Ada juga, yang tidak terlalu paham dengan capres pilihannya, lalu lebih suka bahas kejelekan capres lain.
Nah, di kelompok mana pun Anda sebagai pendukung capres, pastikan anda tidak memilih sekadar karena sentimental. Karena, jika pilihan didasari sentimen, untuk apa berada argumen? Jika pilihan didasari sentimen, biasanya hanya berujung perselisihan!.